-->

MAKALAH PENALARAN

Penalaran sangat penting perannya dalam belajar teori akuntansi karena menuntut kemampuan penalaran yang memadai. Teori akuntansi banyak melibatkan proses penilaian kelayakan dan validitas suatu pernyataan dan argumen. Penalaran memberi keyakinan bahwa suatu pernyataan layak untuk diterima atau ditolak.
Penalaran merupakan pengetahuan tentang prinsip-prinsip berpikir logis yang menjadi basis dalam diskusi ilmiah. Penalaran juga termasuk ciri sikap (attitude) ilmiah yang sangat menuntut kesungguhan (commitment) dalam menemukan kebenaran ilmiah.

Pengertian 

Penalaran adalah proses berpikir logis dan sistematis untuk membentuk dan mengevaluasi suatu keyakinan (belief) terhadap suatu pernyataan (asersi). Pernyataan dapat berupa teori tentang suatu fenomena, ekonomik, politik, atau sosial. Penalaran melibatkan inferensi yaitu proses penurunan konsekuensi logis dan melibatkan pula proses penarikan kesimpulan dari serangkaian pernyataan. Penalaran mempunyai peran penting dalam pengembangan, penciptaan, pengevaluasian, dan pengujian suatu teori atau hipotesis.
Teori merupakan sarana untuk menyatakan suatu keyakinan sedangkan penalaran merupakan proses untuk mendukung keyakinan tersebut. Oleh karena itu, keyakinan terhadap suatu teori berkisar antara lemah atau kuat sekali atau memaksa tergantung pada kualitas atau keefektifan penalaran dalam menimbulkan daya dukung yang dihasilkan.

Unsur dan Struktur Penalaran

Struktur dan proses penalaran dibangun atas dasar tiga konsep penting yaitu asersi, keyakinan, dan argumen. Struktur penalaran menggambarkan hubungan ketiga konsep tersebut dalam menghasilkan daya dukung atau bukti rasional terhadap keyakinan tentang suatu pernyataan.
Asersi adalah suatu pernyataan (biasanya positif) yang menegaskan bahwa suatu teori adalah benar. Asersi mempunyai fungsi ganda dalam penalaran yaitu sebagai elemen pembentuk argumen dan sebagai keyakinan yang dihasilkan oleh suatu penalaran.
Keyakinan adalah tingkat kebersediaan untuk menerima bahwa suatu pernyataan atau teori mengenai suatu fenomena atau gejala (alam atau sosial) adalah benar. Seseorang dikatakan mempunyai keyakinan yang kuat jika bersedia bertindak (berpikir, berperilaku, berpendapat, atau berasumsi) seakan-akan keyakinan tersebut benar. Keyakinan merupakan unsur penting suatu penalaran karena keyakinan menjadi objek atau sasaran penalaran dan menentukan posisi serta sikap seseorang terhadap suatu masalah yang menjadi topik bahasan.
Argumen adalah serangkaian asersi beserta keterkaitan dan inferensi atau penyimpulan yang digunakan untuk mendukung suatu keyakinan. Bila dihubungakan dengan argumen, keyakinan adalah tingkat kepercayaan yang dilekatkan pada suatu pernyataan konklusi atas dasar pemahaman dan penilaian suatu argumen sebagai bukti yang masuk akal. Gambar berikut menunjukkan secara diagramatik proses penalaran secara umum.
        argumen dalam proses penalaran merupakan salah satu bentuk bukti yan goleh Maulz dan Sharaf (1964) disebut sebaai argumaentasi rasional. Dua jenis bukti lain yaitu bukti natural dan bukti ciptaan. Bukit dalam bentuk argumen rasional akan banyak diperlukan dalam teori akuntansi yang membahas masalah konseptual khususnya bila akuntansi dipandang sebagai teknologi dan teori akuntnasi diartikan sebagai penalaran logis. Bukti adalah sesuatu yang memberi dasar rasional dalam pertimbangan untuk menetapkan kebenaran suatu pernyataan. Dalam hal teori akuntansi, pertimbangan diperlukan untuk menetapkan relevansi atau keefektifan suatu perlakuan akuntansi untuk mencapai tujuan akuntansi. Gambar berikut menunjukkan peran argumen sebagai bukti.

Keyakinan yang diperoleh seseorang karena kekuatan atau kelemahan argumentasinya adalah terpisah dengan apakah pernyataan yang diyakini itu sendiri benar atau takbenar.

Asersi 

Asersi (pernyataan) memuat penegasan tentang sesuatu atau realitas. Asersi umumnya berupa kalimat. Berikut adalah contoh asersi.

  • Manusia adalah bentuk social.
  • Semua binatang menyusui memiliki paru-paru.
  • Beberapa obat batuk menyebabkan kantuk.
  • Partisipasi mempengaruhi kinerja.
  • Statemen aliran kas bermanfaat bagi investor dan kreditor.
  • Perusahaan besar akan memiliki metode MPKP.
  • Informasi sumber daya manusia harus dicantumkan di neraca.
  • Dalam sektor publik, anggaran merupakan alat pengendalian dan pengawasan yang paling andal.

Beberapa asersi mengandung pengkuantifikasi yaitu semua, tidak ada, dan beberapa. Asersi yang memuat pengkuantifikasi semua dan tidak ada merupakan asersi universal, sedangkan penguantifikasi beberapa merupakan asersi spesifik. Asersi spesifik dapat disusun dengan penguantifikasi sedikit, banyak, sebagian besar, atau bilangan tertentu.


Interpretasi Asersi

Untuk menerima kebenaran suatu asersi, harus dipastikan terlebih dahulu maksud asersi. Pemahaman asersi menentukan keyakinan terhadap kebenaran sersi tersebut. Untuk memahami asersi diperlukan pengetahuan tentang subjek yang dibahas.

Asersi untuk Evaluasi Istilah
Representasi asersi dalam bentuk diagram dapat digunakan untuk mengevaluasi ketepatan makna suatu istilah. Sebagai contoh, manakah istilah yang tepat antara bersertifikat akuntan public (BAP) dan akuntan public bersertifikat (APB) sebagai padan kata certified public accountant (CPA.
Bersertifikat akuntan public bermakna himpunan orang-orang yang bersertifikat dan salah satu subhimpunannya adalah akuntan publik. Sedangkan akuntan publik bersertifikat bermakna sebagai subhimpunan akuntan public dan akuntan public merupakan subhimpunan akuntan. Diagram sebelah kanan menggambarkan secara tepat makna yang dimaksud oleh istilah CPA tersebut. Tapi yang terdapat di lapangan justru istilah BAP yang mana istilah tersebut tidak valid dan tidak bernalar.


Jenis Asersi (Pernyataan)

Untuk menimbulkan keyakinan terhadap kebenaran suatu asersi harus didukung oleh bukti. Bila dikaitkan dengan fakta pendukung. Asersi dapat diklasifikasi menjadi asumsi, hipotesis, dan pernyataan fakta.
Asumsi adalah asersi yang diyakiki benar meskipun orang tidak dapat mengajukan bukti tentang kebenarannya secara meyakinkan.
Hipotesis adalah asersi yang kebenarannya belum atau tidak diketahui tetapi diyakini bahwa asersi tersebut dapat diuji kebenarannya. Untuk disebut sebagai hipotesis, asersi juga harus mengandung kemungkinan salah. Hipotesis biasanya diajukan dalam rangka pengujian teori. Teori yang kuat atau yang meyakinkan adalah teori yang tidak hanya dapat dibuktikan salah tetapi juga yang tegar atau bertahan terhadap segala upaya untuk membuktikan salah. Prinsip ini didasari oleh pemikiran bahwa toeri itu tidak dapat dibuktikan benar tetapi yang dapat dibuktikan adalah bahwa tidak salah.oleh karena itu, pengujian suatu teori baru (hipotesis) biasanya diarahkan untuk menyanggah teori lawan. Pendekatan atau strategi ini disebut penyanggahan ilmiah.
Pernyataan asersi yang bukti tentang kebenarannya diyakini sangat kuat atau bahkan tidak dapat dibantah. Cohtoh asersi sebagai pernyataan fakta adalah semua orang akan meninggal dunia, satu hari 24 jam, matahari sebagai pusat tata surya dll.

Fungsi Asersi

Dalam argumen, asersi dapat berfungsi sebagai premis dan konklusi. Premis adalah asersi yang digunakan untuk mendukung suatu konklusi. Karena premis dan konklusi keduanya merupakan asersi, konklusi dalam suatu argumen dapat menjadi premis dalam argumen yang lain. Jika konklusi diturunkan dari serangkaian premis yang salah satu merupakan pernyataan fakta dan yang lain asumsi, konklusi tidak dapat dipandang sebagai pernyataan fakta. Dengan kata lain, keyakinan terhadap konklusi dibatasi oleh keyakinan terhadap premis.

Keyakinan
Keyakinan terhadap asersi adalah tingkat kebersediaan untuk menerima bahwa asersi tersebut benar. Keyakinan diperoleh karena kepercayaan tentang kebenaran yang dilekatkan pada suatu asersikeyakinan merupaakan produk, hasil, atau tujuan suatu penalaran. Berikut ini dibahas properitas keyakinan yang perlu disadari dalam berargumen.

Properitas Keyakinan
Semua penalaran bertujuan untuk menghasilakan keyakinan terhadap asersi yang menjadi konklusi penalaran. Pemahaman terhadap beberapa properitas keyakinan sangat penting dalam mencapai keberhasilan berargumen. Argument dianggap berhasil jika dapat mengubah keyakinan.

Keadabenaran
Konsistensi suatu asersi dengan pengetahuan yang mendasari akan menentukan plausibilitas asersi. Jika sumber asersi diyakini dapat dipercaya dan ahli di bidangnya tentang topic asersi, orang akan lebih bersedia meyakini asersi daripada jika sumbernya tidak dapat dipercaya atau tidak ahli. Terkadang orang menyerahkan penilaian plausibilitas asersi kepada ahli dengan pemeo “serahkan pada ahlinya”. Dengan pikiran ini keyakinan diperoleh karena keautoritatifan sumber. Mengacu argumen pada autoritas sumber untuk mendukung kebenaran asersi disebut dengan imbauan autoritas.

Bukan Pendapat
Keyakinan adalah sesuatu yang harus dapat ditunjukkan atau dibuktikan secara obyektif apakah tidak salah atau benar dan sesuatu yang diharapkan menghasilkan kesepakatan setiap orang yang mengevaluasinya ats dasar fakta obyektif. Pendapat adalah asersi yang tidak dapat ditentukan benar atau salah karena berkaitan dengan kesukaan  (preferensi) atau selera.

Bertingkat
Keyakinan yang didapat dari suatu asersi tidak bersifat mutlak tetapi bergradasi mulai dari sangat meragukan sampai sangat meyakinkan. Tingkat keyakinan ditentukan oleh kuantitas dan kualitas bukti untuk mendukunga asersi. Orang yang obyektif dan berpikir logis tentunya akan bersedia untuk mengubah tingkat keyakinannya manakala bukti baru mengenai plausibilitas suatu asersi diperoleh.

Berbias
Dalam menilai plausibilitas suatu asersi orang harus bersikap objective dengan pikiran terbuka, pada umumnya bila orang mempunyai kepentingan, sangat sulit baginya untuk objective. Dengan bukti objectif yang sama asersi dianggap sangat meyakinkan oleh orang yang mempunyai kepentingan pribadi yang besar dan hanya dianggap kurang menyakinkan oleh orang yang netral demikian sebaliknya.

Bermuatan nilai
Orang melekatkan nilai terhadap suatu keyakinan. nilai keyakinan bagi seseorang akan tinggi apabila perubahan keyakinan mempunyai implikasi serius terhadap filosofi,sistem nilai,martabat,pendapat potensial, dan perilaku orang tersebut.

Berkekuatan
Orang yang nyatanya tidak mengerjakan apa yang terkandung dalam asersi menandakan bahwa keyakinannya terhadap kebenaran kebenaran asersi lemah.

Veridikal
Adalah tingkat kesesuaian keyakinan dengan realitas. Dengan kata lain veridikikalitas adalah mudah tidaknya fakta ditemukan dan ditunjukan untuk mendukung keyakinan.

Berketempaan
Atau kelentukan keyakinan berkaitan dengan mudah tidaknya keyakinan tersebut diubah dengan adanya informasi yang relevan.

Argumen
Adalah sebuah proses dan sebagai suatu bukti tentang keyakinan.

Jenis Argumen
Berbagai Klasifikasi argumen dibedakan menjadi Argumen langsung dan Argumen tak langsung, argumen formal dan informal, meyakinkan serta meragukan. Sedangkan klasifikasi yang penting dalam buku ini adalah argumen deduktif dan argumen induktif.

Argumen Deduktif

Proses penyimpulan yang berawal dari suatu pernyataan umum yang disepakati (premis) ke pernyataan khusus sebagai simpulan (konklusi). Argumen deduktif disebut juga argumen logis . argumen logis adalah argumen yang asersi konklusinya tersirat atau dapat diturunkan /dideduksi dari asersi asersi lain yang diajukan.disebut argumen logis karena kalau premis premisnya benar konklusinya harus benar. Kebenaran konklusinya tidak selalu berarti bahwa konklusi merefleksi realitas. Hal ini membedakan argumen sebagai bukti rasional dan bukti empiris berupa fakta.
Penalaran  deduktif berlangsung dalam tiga tahap yaitu : 1. Penentuan pernyataan umum, 2. Penerapan konsep umum, 3. Penarikan kesimpulan secara logis yang berlaku khusus dalam situasi tersebut.
Penalaran deduktif akan membentuk argumen untuk mengubah suatu keyakinan. Misalnya, keyakinan bahwa penilaian asset atas dasar cost sekarang lebih relevan daripada cost historis.
Penalaran deduktif dalam akuntansi digunakan untuk memberi keyakinan tentang simpulan-simpulan yang diturunkan dari premis yang dianut. Dalam teori akuntansi premis major disebut postulat. Sebagai penalaran logis, argumen-argumen yang dihasilkan dengan pendekatan deduktif akan membentuk teori akuntansi. Dalam akuntansi, premis major dapat berasal dari konklusi penalaran deduktif  untuk suatu masalah menghasilkan argumen untuk masalah tersebut. Oleh karena itu penalaran dalam akuntansi dapat dapat menjadi panjang dan terdiri atas beberapa argumen.

Evaluasi Penalaran Deduktif

Tujuan utama evaluasi argumen adalah untuk menentukan apakah konklusi argumen benar dan meyakinkan. Untuk menilai argumen deduktif (logis) Nickerson mengajukan empat pertanyaan yaitu :


  1. Apakah tia lengkap
  2. Apakah artinya jelas
  3. Apakah tia valid? (apakah konklsusi mengikuti premis?)
  4. Apakah premis dapat dipercaya (diterima)?

Kesahihan (validitas) merupakan kriteria utama untuk menilai penalaran logis. Validitas berkaitan dengan struktur formal argumen. Perbedaan antara validitas dan kebenaran adalah validitas adalah sifat yang melekat padaargumen sedangkan kebenaran adalah sifat yang melekat pada asersi. Secara struktural, validitas argumen tidak bergantung pada kebenaran asersi. Artinya, argumen dikatakan valid kalau konklusi diturunkan secara logis dari premis tanpa memperhatikan apakah premis itu sendiri benar atau salah.
Keterpercayaian melengkapi tiga kriteria sebelumnya agar konklusi meyakinkan sehingga orang bersedia menerimanya. Orang bersedia menerima asersi kalau dia percaya dengan asersi tersebut. Plausibilitas asersi bergantung pada pemahaman pengetahuan yang mendasari termasuk pengalaman biasanya diyakini kebenarannya.
Perlu dicatat bahwa konklusi tidak selalu dapat mengubah keyakinan seseorang . properitas keyakinan menentukan keyakinan akan suatu asersi konklusi.

Argumen Induktif

Argumen induktif lebih bersifat sebagai argumen ada kebenarannya. Dalam argumen logis, konklusi merupakan implikasi dari premis. Konklusi merupakan generalis dari premis sehingga tujuan argumen adalah untuk meyakinkan bahwa probilitas atau kebolehjadian kebenaran konklusi cukup  tinggi atau sebaliknya, ketidakbenaran konklusi cukup rendah.

Argumen dengan Analogi

Argumen induktif sebenarnya merupakan jenis penalaran nondeduktif. Salah satu penalaran nondeduktif lainnya adalah argumen dengan analogi. Penalaran dengan analogi adalah penalaran yang menurunkan konklusi atas dasar kesamaan atau kemiripan karakteristik,pola,fungsi, atau hubungan unsur atau sistem suatu object yang disebutkan dalam suatu asersi. Bukan merupakan suatu bentuk pembuktian tetapi, merupakan suatu sarana untuk meyakinkan bahwa asersi konklusi mempunyai kebolehjadian untuk benar. Walaupun analogi banyak digunakan dalam argumen, argumen semacam ini banyak mengandung kelemahan.

Argumen Sebab-Akibat

Menyatakan konklusi sebagai akibat dari asersi tertentu merupakan salah satu bentuk argumen yang disebut argumen dengan penyebaban atau generalisasi kasual.

Kriteria Penyebaban 
 Kaidah perbedaan Mi sebenarnya merupakan suatu rancangan untuk menguji secara eksperimental Apakah memang Terdapat hubungan kausal.

Penalaran Induktif dalam Akuntansi 

Penalaran induktif dalam akuntansi pada umumnya digunakan untuk menghasilkan pernyataan umum yang menjadi penjelasan teori terhadap gejala akuntansi tertentu. Pernyataan-pernyataan umum tersebut biasanya berasal dari hipotesis yang diajukan dan diuji dalam suatu penelitian empiris. Hipotesis merupakan generalisasi yang dituju oleh penelitian akuntansi. Bila bukti empiris konsisten dengan (dukungan) generalisasi tersebut maka generalisasi tersebut menjadi teori yang valid dan mempunyai daya prediksi yang tinggi. Contoh pernyataan umum sebagai hasil penalaran induktif generalisasi antara lain adalah :

  • Perusahaan besar memilih metode akuntansi yang menurunkan laba. 
  • Tingkat likuiditas perusahaan perdagangan lebih tinggi dari pada tingkat likuiditas perusahaan pemanufakturan
  • Partisipasi manajer divisi dalam penyusunan anggaran mempunyai pengaruh positif terhadap kinerja divisi
  • Ambang persepsi etis wanita lebih tinggi  dibandingkan ambang persepsi etis pria dalam menilai kasus pelanggaran etika atau hukum
  • Ukuran atau besar-kecilnya perusahaan berasosiasi positif dengan tingkat pengungkapan sukarela dalam statemen keuangan. 

Secara statistis, generalisasi berarti menyimpulkan karakteristik populasi atas dasar kelas karakteristik sampel melalui pengujian statistik.

Kecohan (Fallacy) 

Sesat pikir adalah kesalahan dalam penalaran. Misalnya, yang paling sering disebut adalah ad hominem atau upaya untuk menyerang kebenaran suatu klaim dengan menunjuk sifat negatif orang yang mendukung klaim tersebut. Padahal, sifat negatif seseorang dan kebenaran suatu klaim sama sekali tidak berhubungan.

Stratagem adalah sesat pikir (fallacy) yang disengaja, dengan tujuan mengecoh atau mempengaruhi cara berpikir orang lain. Berikut stratagem yang sering kita temui

Persuasi Tak Langsung. Hal ini biasa dilakukan di dalam iklan-iklan seperti iklan shampoo atau sabun mandi. Model iklannya memiliki rambut yang panjang nan berkilau, kulit yang putih dan bersih. Model iklan tersebut sudah terkenal sebelumnya. Penonton iklan pun dikecoh dengan iklan yang kurang menunjukkan deskripsi produk, melainkan oleh model iklan yang sudah terkenal tadi. Hal ini juga dilakukan di dalam Pilkada. Biasanya ada pasangan yang wakilnya merupakan artis terkenal. Bukan menarik calon pemilih dengan visi dan misi yang jelas, malah menarik mereka lewat popularitas artis.

Membidik orangnya. Misal, ada seseorang mengatakan sesuatu. Bukan mendebat sesuatu yang dikatakannya, kita malah mencari keburukan orang yang mengatakan itu seakan-akan orang brengsek nggak mungkin mengatakan kebenaran.

Red Herring (Mengesampingkan masalah). Dalam hal ini, sebuah masalah dialihkan ke masalah lain yang sebenarnya tidak bertautan. Misalnya, Bubarkan saja KPK karena toh makin banyak yang ditangkap melakukan korupsi. Dua hal ini kurang relevan karena ada dua aspek yang ditinjau, pencegahan dan penindakan.

Misrepresentasi. Stratagem ini digunakan biasanya untuk menyanggah atau menjatuhkan posisi lawan dengan cara memutarbalikkan atau menyembunyikan fakta baik secara halus maupun terang-terangan. Contoh: Partai A mengajukan argumen untuk menentang kebijakan pemerintah dalam pencabutan subsidi BBM. Lawan politiknya menyanggah dan menuduh bahwa partai A tidak peduli pembangunan.

Imbauan Cacah. Stratagem ini biasanya digunakan untuk mendukung suatu posisi dengan menunjukkan bahwabanyak orang melakukan apa yang dikandung posisi tersebut. Imbauan cacah (appeal to number) didasarkan pada asumsi bahwa mayoritas orang melakukan suatu hal atau popularitas suatu hal menunjukkan bahwa hal tersebut adalah benar atau tidak dapat salah. Contoh: Ingat musim demo-demo kemarin ‘kan? Pada pengen ngeklaim jumlahnya banyak… 7 juta lah, juga balon-balon di depan kantor Gubernur, pengen adu banyak ‘kan? Padahal benar tetap benar walau oleh satu orang, demikian juga sebaliknya, salah tetap salah meski dilakukan semua umat manusia.

Imbauan autoritas. Strategem ini digunakan untuk mendukung posisi dengan menggunakan autoritas. Seseorang berusaha meningkatkan daya bujuk suatu posisi dengan menunjukkan bahwa posisi tersebut dipegang oleh orang yang mempunyai autoritas dalam masalah bersangkutan tanpa menunjukkan bagaimana autoritas bernalar.  Contoh: Rakyat diminta untuk mengikuti kebijakan baru soal pencabutan subsidi listrik, karena yang membuat kebijakan adalah pemerintah. Contoh lain, karena yang ngomong Habib, maka semua hal yang dia katakan benar.

Imbauan tradisi. Orang melakukan atau meyakini sesuatu sudah dilakukan sejak lama. Contoh yang terbaru, soal gerakan zikir yang seperti menari-nari yang sempat viral. Alasannya itu adalah tradisi yang sudah dilakukan sejak lama.

Dilema semu adalah taktik seseorang untuk mengaburkan argumen dengan cara menyajikan gagasannya dan satu alternatif lain kemudian mengarakterisasi alternatif lain sangat jelek, merugikan, atau mengerikan sehingga tidak ada cara lain kecuali menerima apa yang diusulkan. Contohnya, “Kita harus menyetujui dana desa atau desa akan semakin tertinggal.” Dasar pikirannya adalah desa tidak boleh tertinggal, dan simpulannya maka kita harus menyetujui anggaran dana desa. Kecohan terjadi karena seakan-akan hanya ada dua pilihan, padahal kenyataanya ada beberapa alternatif lain yang lebih valid.

Imbauan emosi. Daya bujuk argumen dicapai dengan cara membaurkan emosi dengan nalar (disebut confusing emotion with reason atau motive in place of support). Dengan taktik ini, emosi orang yang dituju diagitasi sehingga dia merasa tidak enak untuk tidak menerima argumen atau keyakinan. Dua strategem yang dapat digunakan untuk mencapai hal ini adalah imbauan belas kasih (appeal to pity) dan imbauan tekanan/kekuasaan (appeal to force). Contoh imbauan belas kasih: Afi Nihaya Faradisa menangis di depan televisi ketika plagiarismenya ketahuan. Lalu ia membawa-bawa ayahnya, mutar-mutar mencari simpati agar tindakan salahnya dibenarkan.

Salah Nalar (Reasoning Fallacy)

Suatu argumen boleh jadi tidak meyakinkan atau persuasif karena argumen terse-but tidak didukung dengan penalaran yang valid. Dengan kata lain, argumen men-jadi tidak efektif karena tia mengandung kesalahan struktur logika atau karena tia tidak masuk akal (unreasonable). Salah nalar terjadi apabila penyimpulan tidak didasarkan pada kaidah-kaidah penalaran yang valid. Jadi, salah nalar adalah kesalahan struktur atau proses formal penalaran dalam menurunkan sim-pulan sehingga simpulan menjadi salah atau tidak valid.

Berbeda dengan stratagem yang lebih merupakan taktik atau pendekatan yang sengaja digunakan untuk meyakinkan kebenaran suatu asersi, salah nalar merupakan suatu bentuk kesalahan penyimpulan lantaran penalarannya mengan-dung cacat sehingga simpulan tidak valid atau tidak dapat diterima. Demikian juga, salah nalar biasanya bukan kesengajaan (intentional) dan tidak dimaksud-kan untuk mengecoh atau mengelabuhi (to deceive). Kalau toh kecohan atau pengelabuhan terjadi, hal tersebut semata-mata karena penalar tidak menyadari bahwa proses atau struktur penalarannya keliru sehingga dia sendiri terkecoh. Jadi, kecohan atau salah nalar terjadi lantaran penalar salah dalam mengaplikasi kaidah penalaran.

Walaupun salah nalar dapat dipakai sebagai suatu stratagem atau penalaran yang layak sering didukung dengan stratagem, tidak selayaknyalah kaidah pena-laran yang sangat baik ditolak semata-mata karena tia sering disalahgunakan. Penalaran juga bersifat kontekstual. Artinya, penalaran valid yang efektif dalam konteks yang satu belum tentu efektif dalam konteks yang lain. Demikian juga, stratagem yang efektif dalam suatu situasi belum tentu efektif dalam situasi yang lain. Berikut ini dibahas beberapa salah nalar yang banyak dijumpai dalam diskusi atau karya tulis profesional, akademik, atau ilmiah.

Menegaskan Konsekuen

Telah disinggung sebelumnya bahwa agar argumen valid maka tia harus mengiku-ti kaidah menegaskan anteseden (affirming the antecedent atau modus ponens). Bila simpulan diambil dengan pola premis yang menegaskan konsekuen, akan ter-jadi salah nalar. Berikut struktur dan contoh argumen yang valid dan salah nalar.



Valid: Takvalid:
Menegaskan anteseden (modus ponens) Menegaskan konsekuen

Premis (1): Jika A, maka B. Premis (1): Jika A, maka B
Premis (2): A. Premis (2): B.

Konklusi: B. Konklusi: A.

Contoh:



Premis (1): Jika saya di Semarang, maka saya di Jawa Tengah.
Premis (2): Saya di Semarang.


Konklusi: Saya di Jawa Tengah.


Premis (1): Jika saya di Semarang, maka saya di Jawa Tengah.
Premis (2): Saya di Jawa Tengah.


Konklusi: Saya di Semarang
















Dalam contoh di atas, premis (2) “Saya di Semarang” menegaskan anteseden “Jika saya di Semarang” sehingga konklusi pasti benarnya secara umum sedang-kan premis (2) “Saya di Jawa Tengah” di sebelah kanan menegaskan konsekuen sehingga konklusinya tidak valid secara umum. Jadi, untuk contoh sebelah kanan, simpulan “Saya di Semarang” adalah tidak valid karena simpulan tidak mengikuti premis (does not follow from the premises). Kenyataan bahwa seseorang ada di Jawa Tengah tidak dengan sendirinya dia ada di Semarang.

Dalam hal ini, penalar terkecoh karena menyamakan atau merancukan per-nyataan atau premis (1) “Jika saya di Semarang, maka saya di Jawa Tengah” dengan premis “Jika saya di Jawa Tengah, maka saya di Semarang.” Premis tera-khir ini menjadikan konklusi di sebelah kanan (“Saya di Semarang”) valid.26 Salah nalar terjadi karena premis “Jika A, maka B” disamakan dengan premis “Jika B, maka A” padahal kenyataannya tidak selalu demikian. Kecohan ini sering terjadi karena dalam beberapa hal memang benar bahwa kalau B mengikuti A maka benar pula bahwa A mengikuti B. Misalnya pernyataan “bila ada api, maka ada asap” dapat dinyatakan pula “bila ada asap, maka ada api” karena memang demikian adanya. Kedua pernyataan tersebut merupakan pernyataan fakta yang tidak dapat disangkal.

Menyangkal Anteseden

Kebalikan dari salah nalar menegaskan konsekuen adalah menyangkal anteseden. Suatu argumen yang mengandung penyangkalan akan valid apabila konklusi ditarik mengikuti kaidah menyangkal konsekuen (denying the consequent atau modus tollens). Bila simpulan diambil dengan struktur premis yang menyangkal anteseden, simpulan akan menjadi tidak valid. Berikut struktur dan contoh argu-men yang valid dan salah nalar.

Valid:

Menyangkal konsekuen (modus tollens)


Premis (1): Jika A, maka B.

Premis (2): Tidak B.


Konklusi: Tidak A.


Contoh:


Premis (1): Jika saya di Semarang, maka saya di Jawa Tengah.
Premis (2): Saya tidak di Jawa Tengah.


Konklusi: Saya tidak di Semarang.


Takvalid:

Menyangkal anteseden


Premis (1): Jika A, maka B

Premis (2): Tidak A.


Konklusi: Tidak B.





Premis (1): Jika saya di Semarang, maka saya di Jawa Tengah.
Premis (2): Saya tidak di Semarang.


Konklusi: Saya tidak di Jawa Tengah.



Konklusi di sebelah kanan tidak valid karena premis (2) menyangkal antese-den (“Jika saya di Semarang”). Konklusi akan valid bila premis (1) diubah menjadi “Jika saya di Jawa Tengah, maka saya di Semarang” sehingga argumen mengikuti pola modus tollens. Akan tetapi, makna premis ini tidak lagi sama dengan makna premis semula. Jadi, salah nalar akibat menegaskan konsekuen atau menyangkal anteseden dapat terjadi karena makna “jika A, maka B” disamakan atau dikacau-kan dengan “jika B, maka A.”

Pentaksaan (Equivocation)

Salah nalar dapat terjadi apabila ungkapan dalam premis yang satu mempunyai makna yang berbeda dengan makna ungkapan yang sama dalam premis lainnya. Dapat juga, salah nalar terjadi karena konteks premis yang satu berbeda dengan konteks premis lainnya.
Argumen dalam bahasa Inggris berikut memberi ilustrasi salah nalar ini (Nickerson, 1986, hlm. 4).
Premis major: Nothing is better than eternal happiness.

Premis minor: A ham sandwhich is better than nothing.


Konklusi: A ham sandwhich is better than eternal happines.

Secara struktural, argumen di atas menjadi salah nalar karena kata nothing dalam premis major berbeda maknanya dengan kata nothing dalam premis minor. Dalam premis major, nothing bermakna tidak ada satupun dari himpunan objek yang memenuhi syarat sehingga kebahagiaan abadi adalah satu-satunya yang ter-baik.27 Sementara itu, nothing dalam premis minor bermakna tidak tersedianya anggota lain dalam himpunan yang di dalamnya ham sandwhich merupakan salah satu anggota sehingga ham sandwhich bukan satu-satunya yang terbaik.28 Jadi, nothing dalam premis major mensyiratkan kebahagiaan abadi sebagai sesuatu yang terbaik sedangkan nothing dalam premis minor mensyiratkan ham sand-which sebagai sesuatu yang terjelek sehingga konklusi tidak masuk akal atau tidak valid. Salah nalar seperti ini terjadi karena penalar bermaksud menerapkan kaidah transitivitas (transitivity) tetapi tidak memenuhi syarat. Transitivitas dan contoh dapat dinyatakan sebagai berikut:





Kaidah: Contoh:


Premis (1): B > C. Premis (1): Baroto lebih rajin daripada Candra.

Premis (2): A > B. Premis (2): Anton lebih rajin daripada Baroto.


Konklusi: A > C. Konklusi: Anton lebih rajin daripada Candra.

Argumen dalam contoh di atas valid apabila unsur B atau Baroto mengacu pada makna atau objek yang sama sehingga tidak terjadi pentaksaan.



Perampatan-lebih (Overgeneralization)

Salah nalar yang banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari adalah melekat-kan (mengimputasi) karakteristik sebagian kecil anggota ke seluruh anggota him-punan, kelas, atau kelompok secara berlebihan. Bila seseorang menyimpulkan bahwa warga Kampung X adalah pencuri karena dia mendapati bahwa dua pen-curi yang baru saja ditangkap berasal dari Kampung X maka dia telah melakukan salah nalar.

Perampatan atau generalisasi itu sendiri bukan merupakan salah nalar. Kemampuan merampatkan merupakan suatu kemampuan intelektual yang sangat penting dalam pengembangan ilmu. Masalahnya adalah bila derajat peram-patan begitu ekstrem (atas dasar sampel atau pengamatan terbatas) sehingga mengabaikan kemungkinan bahwa apa yang diamati merupakan peluar (outlier) atau pengecualian (exceptions to the rule). Dalam penelitian empiris, ukuran sampel yang terlalu kecil dan kurangnya kerepresentatifan sampel dapat meng-hasilkan konklusi yang keliru.

Salah nalar yang bartalian dengan perampatan lebih adalah apa yang dikenal dengan istilah penstereotipaan (stereotyping). Salah nalar ini terjadi bila penalar mengkategori seseorang sebagai anggota suatu kelompok kemudian melekatkan semua sifat atau kualitas kelompok kepada orang tersebut. Misalnya, orang mengetahui bahwa para akuntan publik umumnya adalah kaya (sifat kelompok). Salah nalar dapat terjadi kalau penalar menyimpulkan bahwa Hariman pasti kaya karena dia adalah akuntan publik.


Parsialitas (Partiality)

Penalar kadang-kadang terkecoh karena dia menarik konklusi hanya atas dasar sebagian dari bukti yang tersedia yang kebetulan mendukung konklusi. Hal ini mirip dengan perampatan lebih lantaran sampel kecil atau ketakrepresentatifan bukti. Kadang-kadang kita sengaja memilih dan melekatkan bobot yang tinggi pada bukti (argumen) yang cenderung mendukung konklusi atau keyakinan yang kita sukai dengan mengabaikan bukti yang menentang konklusi tersebut. Kesa-lahan semacam ini tidak harus merupakan suatu stratagem karena penalar tidak bermaksud mengecoh atau menjatuhkan lawan tetapi karena semata-mata dia tidak objektif (bias) dalam penggunaan atau pengumpulan bukti.

Dalam penelitian, peneliti sering bias dalam pengumpulan data dengan mem-buat pertanyaan yang mengarahkan responden (disebut leading questions). Bila peneliti berupaya untuk mendukung teori yang disukainya dengan mengarahkan bukti secara bias, hal tersebut disebut membangun kasus (building the case).

Pembuktian dengan Analogi

Telah dibahas sebelumnya bahwa analogi bukan merupakan cara untuk membuk-tikan (to prove) validitas atau kebenaran suatu asersi. Analogi lebih merupakan suatu sarana untuk meyakinkan bahwa asersi konklusi mempunyai kebolehjadian (likelihood) untuk benar. Dengan kata lain, bila premis benar, konklusi atas dasar analogi belum tentu benar. Jadi, analogi dapat menghasilkan salah nalar.


Merancukan Urutan Kejadian dengan Penyebaban

Dalam percakapan sehari-hari atau diskusi, kesalahan yang sering dilakukan orang adalah merancukan urutan kejadian (temporal succession) dengan penye-baban (causation). Bila kejadian B selalu mengikuti kejadian A, orang cenderung menyimpulkan bahwa B disebabkan oleh A. Karena malam selalu mengikuti siang, tidak berarti bahwa siang menyebabkan malam. Salah nalar terjadi bila urutan kejadian disimpulkan sebagai penyebaban. Kesalahan ini sering disebut dalam bahasa Latin post hoc ergo propter hoc (setelah ini, maka karena ini).

Telah dibahas sebelumnya bahwa urutan kejadian hanyalah merupakan salah satu syarat untuk menyatakan adanya penyebaban (lihat kembali subbahasan Argumen Sebab-Akibat di halaman 60). Syarat ini merupakan syarat perlu (neces-sary condition) untuk penyebaban tetapi bukan syarat cukup (sufficient condi-tion). Kalau A memang menyebabkan B maka perlu dipenuhi syarat bahwa A selalu mendahului B.

Menarik Simpulan Pasangan

Kemampuan seseorang untuk menyajikan argumen sering menjadikan argumen yang valid atau benar menjadi kurang meyakinkan. Akibatnya, orang sering lalu menyimpulkan bahwa konklusinya tidak benar atau valid. Hal penting yang perlu diingat adalah bahwa kemampuan seseorang untuk menyajikan argumen yang mendukung atau menyangkal suatu posisi tidak menentukan kebenaran (truth) atau ketakbenaran (falsity) konklusi (posisi). Kebenaran konklusi atau posisi memang harus didukung oleh argumen yang meyakinkan.

Salah nalar terjadi kalau orang menyimpulkan bahwa suatu konklusi salah lantaran argumen tidak disajikan dengan meyakinkan (tidak konklusif) sehingga dia lalu menyimpulkan bahwa konklusi atau posisi pasanganlah yang benar. Kecohan ini mirip dengan bentuk salah nalar menyangkal anteseden yang telah dibahas sebelumnya.
Premis (1): Jika seseorang dapat menyajikan suatu argumen yang meyakinkan, maka konklusinya benar (valid).

Premis (2): Pak Antoni menyajikan argumennya dengan tidak meyakinkan.


Konklusi: Konklusi atau posisinya takbenar. Posisi pasangannya yang benar.

Jadi, mengambil konklusi pasangan lantaran konklusi yang diajukan tidak disajikan secara meyakinkan merupakan suatu salah nalar. Kalau suatu per-nyataan yang memang valid disajikan dengan argumen yang kurang efektif, maka hal terbaik yang dapat disimpulkan adalah bahwa validitas atau kebenaran per-nyataan tersebut belum terungkap atau ditunjukkan tetapi tidak berarti bahwa pernyataan tersebut takbenar. Dengan demikian, kurang meyakinkannya suatu konklusi tidak dengan sendirinya membenarkan konklusi yang lain (pasangan).
Dalam pengembangan ilmu dikenal suatu pendekatan atau semangat untuk menguji suatu teori yang disebut penyanggahan atau refutasi ilmiah (scientific refutation). Semangat ini dilandasi oleh pikiran bahwa suatu teori ilmiah tidak harus dapat dibuktikan benar tetapi harus dapat disanggah (dibuktikan salah) kalau tia memang salah; misalnya dengan pengajuan teori baru yang lebih baik. Dasar pikiran ini sering disebut dengan prinsip ketersalahan atau keterbuktisa-lahan (principle of falsifiability). Bila ilmuwan tidak dapat menunjukkan dengan meyakinkan bahwa teori barunya lebih valid, maka ilmuwan terpaksa “meneri-ma” teori yang disanggahnya.32 Prosedur penyimpulan semacam ini bukan meru-pakan salah nalar tetapi lebih merupakan usaha untuk mencapai ketegaran ilmiah (scientific rigor). Hal ini penting agar orang tidak dengan mudah menggan-ti teori dengan teori yang belum teruji secara meyakinkan. Namun, prosedur ini mengandung risiko yaitu ilmuwan tidak menolak teori yang disangkalnya padahal teori tersebut sebenarnya salah. Jadi, ilmuwan “menerima” teori yang salah. Risi-ko ini disebut kesalahan penyimpulan (error of inference) dan harus dihindari.

Dalam penelitian ilmiah (empiris), konklusi atau teori biasanya dinyatakan dalam bentuk hipotesis. Konklusi pasangan yang dibahas di atas sering ditempat-kan sebagai hipotesis nol (null atau default hypothesis) sedangkan hipotesis (teori baru) yang diajukan dan akan diuji ditempatkan sebagai hipotesis alternatif (alter-native hypothesis). Kalau peneliti tidak dapat menunjukkan bukti-bukti yang sangat kuat untuk mendukung teorinya (bukti-bukti empiris yang diajukan tidak mendukung secara statistis hipotesis alternatif), maka peneliti terpaksa menyim-pulkan (tidak menolak) hipotesis nol. Jadi, bila bukti empiris tidak cukup meyakinkan untuk menyimpulkan hipotesis alternatif, maka dikatakan bahwa peneliti gagal menolak hipotesis nol (to fail to reject the null or default hypothesis). Dalam hal ini, peneliti menghadapi dua jenis risiko kesalahan penyimpulan yaitu menyimpulkan hipotesis nol padahal sebenarnya tia salah atau menyimpulkan hipotesis alternatif padahal sebenarnya tia salah.

Dalam bahasa statistika, kesalahan menyimpulkan hipotesis alternatif (atau menolak hipotesis nol) padahal kenyataannya hipotesis alternatif adalah salah disebut dengan kesalahan Tipa I atau α. Sebaliknya, kesalahan menyimpulkan hipotesis nol (tidak menolak hipotesis nol) padahal kenyataannya hipotesis nol adalah salah disebut dengan kesalahan Tipa II atau β.



Aspek Manusia Dalam Penalaran

Stratagem dan salah nalar yang dibahas di atas belum mencakup semua stratagem dan kecohan yang mungkin terjadi. Masih banyak cara atau proses yang mengaki-batkan kecohan. Uraian di atas juga belum menyinggung aspek manusia dalam penalaran. Namun, pembahasan di atas memberi gambaran bahwa penalaran untuk meyakinkan kebenaran atau validitas suatu pernyataan bukan merupakan proses yang sederhana.

Telah disinggung sebelumnya bahwa mengubah keyakinan melalui argumen dapat merupakan proses yang kompleks karena pengubahan tersebut menyangkut dua hal yang berkaitan yaitu manusia yang meyakini dan asersi yang menjadi objek keyakinan. Manusia tidak selalu rasional dan bersedia berargumen sementa-ra itu tidak semua asersi dapat ditentukan kebenarannya secara objektif dan tun-tas. Hal ini tidak hanya terjadi dalam kehidupan umum sehari-hari tetapi juga dalam dunia ilmiah dan akademik yang menuntut keobjektifan tinggi. Yang mem-prihatikan dunia akademik adalah kalau para pakar pun lebih suka berstratagem daripada berargumen secara ilmiah. Berikut ini dibahas beberapa aspek manusia yang dapat menjadi penghalang (impediments) penalaran dan pengembangan ilmu, khususnya dalam dunia akademik atau ilmiah.

Penjelasan Sederhana

Rasionalitas menuntut penjelasan yang sesuai dengan fakta. Kebutuhan akan penjelasan terhadap apa yang mengusik pikiran merupakan fundasi berkembang-nya ilmu pengetahuan. Namun, keingingan yang kuat untuk memperoleh penje-lasan sering menjadikan orang puas dengan penjelasan sederhana yang pertama ditawarkan sehingga dia tidak lagi berupaya untuk mengevaluasi secara saksama kelayakan penjelasan dan membadingkannya dengan penjelasan alternatif. Dengan kata lain, orang menjadi tidak kritis dalam menerima penjelasan. Akibatnya, argumen dan pencarian kebenaran akan terhenti sehingga pengembangan ilmu pengetahuan akan terhambat.

Kepentingan Mengalahkan Nalar

Hambatan untuk bernalar sering muncul akibat orang mempunyai kepentingan tertentu (vested interest) yang harus dipertahankan. Kepentingan sering memaksa orang untuk memihak suatu posisi (keputusan) meskipun posisi tersebut sangat lemah dari segi argumen.

Dalam dunia akademik dan ilmiah, kepentingan untuk menjaga harga diri individual atau kelompok (walaupun semu) dapat menyebabkan orang (akademisi atau ilmuwan) berbuat yang tidak masuk akal. Hal ini terjadi umumnya pada mereka yang sudah mendapat julukan pakar atau ilmuwan yang kebetulan mem-punyai kekuasaan politis (baik formal atau informal).

Kebebasan akademik merupakan suatu ciri penting lingkungan akademik yang kondusif untuk pengembangan pengetahuan dan profesi (khususnya akun-tansi). Kebebasan akademik harus diartikan sebagai kebebasan untuk berbeda pendapat secara akademik dalam suatu forum yang memungkinkan akademisi berargumen secara terbuka. Sikap akademisi yang patut dihargai adalah keberse-diaan untuk berargumen.

Sikap ilmiah menuntut akademisi (termasuk pengelola suatu institusi) untuk berani membaca dan memahami gagasan alternatif dan, kalau gagasan tersebut valid dan menuju ke perbaikan, bersedia membawa gagasan tersebut ke kelas atau diskusi ilmiah dan bukan malahan mengisolasinya. Keberanian dan keberse-diaan seperti itu merupakan suatu ciri sikap ilmiah dan akademik yang sangat ter-puji (respected). Ini tidak berarti bahwa ilmuwan/akademisi harus selalu setuju dengan suatu gagasan. Ketidaksetujuan dengan suatu gagasan itu sendiri (setelah berani membaca) merupakan suatu sikap ilmiah asal dilandasi dengan argumen yang bernalar dan valid. Ketidakberanian dan ketidakbersediaan itulah yang merupakan sikap tidak ilmiah (akademik) dan justru hal ini sering terjadi dalam dunia akademik tidak hanya pada masa sekarang tetapi juga masa lalu.

Sindroma Tes Klinis

Sindroma ini menggambarkan seseorang yang merasa (bahkan yakin) bahwa ter-dapat ketidakberesan dalam tubuhnya dan dia juga tahu benar apa yang terjadi karena pengetahuannya tentang suatu penyakit. Akan tetapi, dia tidak berani untuk memeriksakan diri dan menjalani tes klinis karena takut bahwa dugaan tentang penyakitnya tersebut benar. Akhirnya orang ini tidak memeriksakan diri ke dokter dan mengatakan pada orang lain bahwa dirinya sehat. Jadi, orang ini takut mengetahui kebenaran gagasan sehingga menghindarinya secara semu.

Dalam dunia akademik, sindroma semacam ini dapat terjadi kalau seseorang mempunyai pandangan yang menurut dirinya sebenarnya keliru atau tidak valid lagi karena adanya pandangan atau gagasan baru. Gagasan baru dia peroleh karena dia sering mendengar dari kolega atau mahasiswa. Orang lain memperoleh gagasan baru tersebut dari artikel atau hasil penelitian ilmiah. Dalam kondisi seperti ini, akademisi sering tidak berani untuk membaca sumber gagasan karena takut jangan-jangan pendapatnya yang telah telanjur disebarkan kepada maha-siswa benar-benar keliru. Dapat juga, akademisi tersebut memang berani mem-baca dan benar-benar dapat menerima argumen tetapi di muka umum (kelas) dia bersikap seolah-olah tidak pernah tahu gagasan baru tersebut (bersikap tak pedu-li) apalagi membahasnya di kelas dengan cukup dalam. Manifestasi lain dari sin-droma ini adalah akademisi (dosen) mengisolasi gagasan baru agar mahasiswa tidak pernah tahu semata-mata untuk menutupi kelemahan suatu gagasan lama yang dianutnya.
Bila sindroma semacam ini banyak diindap oleh akademisi, dapat dipastikan kemajuan pengetahuan dan profesi akan terhambat dan rugilah dunia pendidikan.

Mentalitas Djoko Tingkir
Budaya Djoko Tingkir digunakan untuk menggambarkan lingkungan aka-demik atau profesi seperti ini karena konon perbuatan Djoko Tingkir yang tidak terpuji harus dibuat menjadi terpuji dengan cara mengubah skenario yang sebenarnya terjadi semata-mata untuk menghormatinya karena dia bakal menjadi raja (kekuasaan). Dalam dunia akademik, status pakar merupakan kekuasaan atau autoritas akademik. Kepakaran merupakan kekuasaan karena orang dapat mem-peroleh kekuasaan dan kedudukan (baik politik, struktural, atau institusional) lantaran pengetahuan atau ilmunya. Namun, tidak semestinya kalau kekuasaan tersebut lalu menentukan ilmu. Dunia akademik harus mengembangkan ilmu atas dasar validitas argumen dan bukan atas dasar kekuasaan politik/jabatan.

Merasionalkan Daripada Menalar

Bila karena keberpihakan, kepentingan, atau ketakkritisan, orang telanjur meng-ambil posisi dan ternyata posisi tersebut salah atau lemah, orang ada kalanya berusaha untuk mencari-cari justifikasi untuk membenarkan posisinya. Dalam hal ini, tujuan diskusi bukan lagi untuk mencari kebenaran atau validitas tetapi untuk membela diri atau menutupi rasa malu. Bila hal ini terjadi, orang tersebut sebenarnya tidak lagi menalar (to reason) tetapi merasionalkan (to rationalize).
Sikap merasionalkan posisi dapat terjadi karena keterbatasan pengetahuan orang bersangkutan dalam topik yang dibahas tetapi orang tersebut tidak mau mengakuinya. Agar argumen berjalan dengan baik, para penalar paling tidak harus mempunyai pengetahuan yang cukup dalam topik yang dibahas. Kurangnya pengetahuan (topical knowledge) dapat menjebak orang untuk lari ke stratagem daripada argumen yang layak.

Sikap merasionalkan dalam diskusi dapat menimbulkan pertengkaran mulut, perselisihan pendapat (dispute), atau debat kusir. Dalam situasi ini, pihak yang terlibat dalam diskusi biasanya tidak lagi mengajukan argumen yang sehat untuk mendukung posisi tetapi mengajukan argumen kusir (pedestrian argument) untuk menyalahkan pihak lain dan memenangi perselisihan. Jadi, tujuan diskusi bukan lagi mencari solusi tetapi mencari kemenangan (kadang-kadang menangnya sendi-ri). Memenangi debat (selisih pendapat) dan meyakinkan suatu gagasan adalah dua hal yang sangat berbeda. Untuk memenangi selisih pendapat, faktor emosio-nal lebih banyak berperan daripada faktor rasional atau penalaran. Pakarpun kadang-kadang lebih suka berdebat daripada berargumen.

Persistensi

Karena kepentingan tertentu harus dipertahankan atau karena telah lama mele-kat dalam rerangka pikir, seseorang kadang-kadang sulit melepaskan suatu keya-kinan dan menggantinya dengan yang baru. Dengan kata lain, orang sering berteguh atau persisten terhadap keyakinannya meskipun terdapat argumen yang kuat bahwa keyakinan tersebut sebenarnya salah sehingga dia seharusnya melepaskan keyakinan tersebut.

Sampai tingkat tertentu persistensi merupakan sikap yang penting agar orang tidak dengan mudahnya pindah dari keyakinan atau paradigma yang satu ke yang lain. Paradigma adalah satu atau beberapa capaian ilmu pengetahuan pada masa lalu (past scientific achievements) yang diakui oleh masyarakat ilmiah pada masa tertentu sebagai basis atau tradisi untuk mengembangkan ilmu penge-tahuan dan praktik selanjutnya. Capaian (achievements) dalam ilmu pengetahuan (sciences) dapat berupa filosofi, postulat, konsep, teori, prosedur ilmiah, atau pendekatan ilmiah. Untuk menjadi paradigma, suatu capaian harus mempunyai penganut yang cukup teguh dan capaian tersebut bersaing dengan capaian atau kegiatan ilmiah lain yang juga mempunyai sekelompok penganut.
Dalam dunia ilmiah, persistensi untuk tidak melepaskan suatu keyakinan dapat dimaklumi kalau tujuannya adalah untuk memperoleh argumen atau bukti yang kuat untuk menunjukkan bahwa keyakinan yang dianut memang salah. Tidak selayaknyalah suatu keyakinan atau paradigma dipertahankan kalau memang terdapat bukti yang sangat meyakinkan bahwa tia salah. Namun, manu-sia tidak selalu dapat bersikap objektif dan tidak memihak (impartial). Karena kepentingan tertentu yang perlu dipertahankan, ilmuwan atau pakar pun sering bersikap demikian sehingga konversi keyakinan sulit terjadi.

Rangkuman

Praktik yang sehat harus dilandasi oleh teori yang sehat pula. Teori yang sehat harus dilandasi oleh penalaran yang sehat karena teori akuntansi menuntut kemampuan penalaran yang memadai. Penalaran merupakan proses berpikir logis dan sistematis untuk membentuk dan mengevaluasi suatu keyakinan akan asersi.

Unsur-unsur penalaran adalah asersi, keyakinan, dan argumen. Interaksi antara ketiganya merupakan bukti rasional untuk mengevaluasi kebenaran suatu pernyataan teori. Asersi merupakan pernyataan bahwa sesuatu adalah benar atau penegasan tentang suatu realitas. Keyakinan merupakan kebersediaan untuk menerima kebenaran suatu pernyataan. Argumen adalah proses penurunan sim-pulan atau konklusi atas dasar beberapa asersi yang berkaitan secara logis.

Asersi dapat dinyatakan secara verbal atau struktural. Asumsi, hipotesis, dan pernyataan fakta merupakan jenis tingkatan asersi. Jenis tingkatan konklusi tidak dapat melebihi jenis tingkatan asersi yang terendah.

Keyakinan merupakan hal yang dituju oleh penalaran. Keyakinan mengan-dung beberapa sifat penting yaitu: keadabenaran, bukan pendapat, bertingkat, mengandung bias, memuat nilai, berkekuatan, veridikal, dan tertempa.










Kak Zay
kegiatan sehari-hari kuliah dan berdagang. karena saya suka dengan teknologi saya memegang beberapa blog dan hanya memegang satu chennel di youtube

Related Posts

Post a Comment

SUBSCRIBE BLOG