-->

SIFAT MACHIAVELLIAN



A.       PENDAHULUAN

B.   Pengertian Sifat Machiavelianis
            Kohlberg (1981) menjelaskan bahwa orientasi etika mempunyai hubungan dengan dimensi-dimensi etis seperti Machiavellian. Sifat Machiavelianis diperkenalkan oleh seorang ahli filsuf politik dari Itali bernama Niccolo Machiavellian (1469-1527).
            Sifat Machiavellian merupakan suatu keyakinan atau persepsi yang diyakini tentang hubungan antar personal. Persepsi ini akan membentuk suatu kepribadian yang mendasari sikap dalam berhubungan dengan orang lain. Kepribadian Machiavellian dideskripsikan oleh Christie and Geis (1980) sebagai kepribadian yang kurang mempunyai afeksi dalam hubungan personal, mengabaikan moralitas konvensional, dan memperlihatkan komitmen ideologi yang rendah. Kepribadian Machiavellian mempunyai kecenderungan untuk memanipulasi orang lain, sangat rendah penghargaannya pada orang lain.
            Kecenderungan sifat Machiavellian diukur dengan Skala Mach IV. Skala ini terdiri dari 20 item pertanyaan yang didesain untuk mengukur keyakinan responden tentang apakah orang lain rentan atau mudah dimanipulasi dalam hubungan personal. Skala Mach tinggi menunjuk pada pribadi yang mempunyai empati rendah, lebih bertahan untuk tidak mengaku melakukan kecurangan, pandai membuat kebohongan menjadi masuk akal, dan ketiadaan emosi dalam hubungan interpersonal. Turnbell (1976) mengemukakan bahwa individu dengan skala Mach tinggi cenderung memanfaatkan situasi untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
            Intinya individu dengan skala Mach yang tinggi mempunyai kepribadian manipulatif dan mempunyai sifat kognitif kepada orang lain, dan karena cara pandang mereka adalah goal-oriented bukan person-oriented, maka mereka cenderung lebih berhasil dalam situasi tawar menawar (face-to-face bargaining situation) daripada skala Mach rendah (Christie and Geis).
            Stereotip Machiavellian ini merupakan hal umum dalam persepsi profesi bisnis (McLean, 1992),. Disiplin bisnis lain, seperti pemasaran dan manajemen, menarik individu yang mempunyai sifat manipulatif dan agresif yang biasanya diwujudkan dalam pencapaian sukses karir yang tinggi (Moore, 1995). Lingkungan bisnis yang menuntut pemikiran strategis dan kompetitif membuat metafora kemenangan (winning) menjadi hal yang diterima umum. Pola pikir-pola pikir seperti itu menciptakan sikap yang mengarah pada Machiavellian.
            Penelitian terdahulu banyak dilakukan untuk meneliti sifat Machiavellian dan kecenderungan sikap etis ini pada profesi-profesi bisnis. Jones dan Kavanagh (1996) menemukan bahwa skala Mach tinggi cenderung bertindak tidak etis dibandingkan dengan skala Mach rendah. Penelitian Corzine (1999) menemukan bahwa “US bankers” memiliki rasio Mach yang relatif rendah. Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa bankers yang memiliki skala Mach tinggi pada umumnya merasa bahwa peraturan perbankan yang ketat membatasi kemampuan perusahaan untuk maju. Turnbell (1976) menemukan bahwa seorang yang memiliki skor Mach tinggi mempunyai kecenderungan untuk mengeksploitasi keadaan guna keuntungan diri sendiri. Ghosh dan Crain (1996) menemukan indikasi bahwa mahasiswa bisnis dengan skor Mach rendah keinginan untuk tidak taatnya juga rendah.
            Berbeda dengan profesi binis, bagi profesi akuntan kepribadian Machiavellian justru menjadi ancaman. Profesi akuntan dituntut untuk mempunyai tanggung jawab etis yang bahkan lebih daripada tanggung jawab profesi lainnya. Namun penelitian mengenai hubungan sifat Machiavellian dengan kecenderungan sikap etis profesi akuntan belum banyak dilakukan. Penelitian Richmond (2003) menemukan bahwa Skala Machiavellian (Skala Mach IV) merupakan instrumen yang tepat untuk mengukur kecenderungan sikap etis akuntan. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa akuntan dengan skala Machiavellian tinggi cenderung menerima sikap-sikap yang secara etis diragukan. Dengan kata lain variabel Machiavellian mempunyai kemampuan untuk memprediksi kecenderungan sikap etis akuntan.
            Paham Machiavelianis diajarkan oleh seorang ahli filsuf politik dari Italian bernama Niccolo Machiavelli (1469-1527). Christie dan Geis (1970) dalam penelitiannya mendeskripsikan kepribadian Machiavellian sebagai suatu kepribadian antisosial, yang tidak memperhatikan moralitas konvensional dan mempunyai komitmen ideologis yang rendah. Disini, seorang Machiavellian mempunyai kecenderungan untuk mementingkan kepentingan sendiri, manipulatif dan agresif. Menariknya, Machiavellian merupakan hal yang biasa dan dapat diterima dalam persepsi profesi bisnis namun bukan tipe karakter yang menarik bagi profesi akuntan terutam auditor. Profesi akuntan (Auditor) dituntut untuk mempunyai tanggung jawab etis yang bahkan lebih daripada tanggung jawab profesi lainnya. Eksistensi profesi sangat bergantung pada kepercayaan masyarakat sebagai  pengguna jasa profesi. Jika di profesi lain mendapatkan penugasan dari pengguna jasa dan bertanggung jawab juga kepadanya, sementara akuntan (Auditor) mendapat penugasan dan memperoleh fee dari perusahaan yang menerbitkan laporan keuangan, namun bertanggung jawab kepada pengguna laporan keuangan.
            Menurut Chrismastuti dan Purnamasari (2004), Skala Machiavellian (Skala Mach IV) merupakan instrumen yang tepat untuk mengukur kecenderungan sikap etis Akuntan (Auditor). Akuntan (Auditor) dengan skala Machiavellian tinggi cenderung menerima sikap-sikap yang secara etis diragukan. Pendidikan,Status, Gender, dan Usia merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi besar pada perilaku etis Akuntan (Auditor).
C. indikator-indikator yang dapat mempengaruhi sifat machiavellian
1) Afeksi
            Merupakan aspek kepribadian yang berupa perasaan atau emosi pada diri individu. Chaplin (1995) menjelaskan afeksi sebagai “satu kelas yang luas dari proses-proses mental, termasuk perasaan, emosi suasana hati, dan temperamen. Perkembangan afeksi pada setiap periode perkembangan manusia dapat dijelaskan sebagai berikut.
a) Masa Bayi
            Pada waktu lahir, emosi tampak dalam bentuk sederhana, hamper tidak terbedakan sama sekali. Seiring dengan bertambahnya usia, emosi pada bayi mulai terbedakan, dan reaksi emosional dapat ditimbulkan oleh berbagai macam rangsangan.
b) Masa Kanak-kanak
            Selama masa kanak-kanak emosi sangat kuat. Saat ini merupakan saat ketidakseimbangan karena anak-anak mudah terbawa ledakanledakan emosional sehingga sulit dibimbing dan diarahkan. Dengan bertambah besarnya badan, anak-anak mulai mengungkapkan amarah dalam bentuk murung, menggerutu, dan berbagai ungkapan kasar. Ledakan amarah menjadi jarang karena anak mengetahui bahwa tindakan tersebut dianggap sebagai perilaku bayi.
c) Masa Remaja
            Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode “badai dan tekanan”, suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sabagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Selain itu, meningginya emosi terutama karena remaja di bawah tekanan social dan menghadapi kondisi baru, sedangkan pada kanak-kanak dia kurang mempersiapkan diri untuk menghadapai keadaan-keadaan itu.
            Pola emosi masa remaja adalah sama dengan pada masa kanakkanak. Perbedaannya terletak pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan derajat, dan khususnya pada pengendalian latihan individu terhadap ungkapan emosi mereka. Misalnya perlakuan sebagai “anak kecil” atau secara “tidak adil” membuat remaja sangat marah dibandingkan dengan hal-hal lain.
d) Masa Dewasa
            Setelah melewati masa remaja, maka individu yang berada pada tahap dewasa mempunyai emosi yang dapat dikendalikan dan dikontrol. Hal ini sejalan dengan perkembangan kognitif pada tahap tersebut. Orang dewasa telah mampu menempatkan dimana emosi itu bisa ditunjukkan dan kapan tidak. Emosi yang sangat menonjol pada masa ini adalah cinta dan perhatian terhadap lawan jenis. Pada masa ini individu telah memikirkan masa depan serta pasangan hidupnya.
e) Masa Lansia
            Masa ini merupakan masa penutup pada rentang kehidupan seseorang, yaitu suatu masa dimana seseorang telah “beranjak jauh” dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh dengan manfaat. Pada usia lanjut, emosi yang nampak tidak lagi seperti pada masa-masa sebelumnya (dewasa, remaja) yang penuh gejolak. Manusia karena kemunduran fisik danmental maka emosi pun tidak dimunculkan dengan mencolok, sehingga nampak bahwa pada usia lanjut ini, manusia penuh dengan kebijaksanaan
2) Komitmen Ideologis Rendah
            Mowday (1982) mendefinisikan komitmen sebagai kekuatan relatif dari identifikasi individu dan keterlibatannya sebagai kekuatan relative dari identifikasi individu dengan organisasi kerja. Sedangkan Mitchell (1982) memandang komitmen sebagai suatu orientasi nllai terhadap kerja yang menunjukkan bahwa individu sangat memikirkan pekerjaannya. Dimana pekerjaan memberikan kepuasan hidup, danpekerjaan memberikan status bagi indvidu. Komitmen adalah suatu janji terhadap diri sendiri atau kepada orang lain. Apabila komitmen seseorang kecil atau rendah maka janji serta tekad untuk tujuan tertentu akan susah di capai. Seseorang dengan komitmen ideoligis rendah akan cenderung tidak bisa memberikan suatu keputusan dengan tepat, dan lebih sering untuk mengikuti pendapat atau keputusan orang lain.
3) Ego
            Egois berasal dari kata ego, ego yang berarti aku dalam bahasa Yunani. Seseorang yang disebut egois yaitu yang selalu mementingkan dirinya sendiri di atas kepentingan orang lain. Seseorang egois merupakan seseorang yang takut kehilangan apa yang dimiliki atau haknya. Sikap egois merupakan kelanjutan dari apa yang telah diterima selama ini. Seseorang dengan sifat egois tidak akan mempedulikan keadaan sekitar, dan lebih mementingkan kepetingan pribadi. Sifat semacam ini adalah  sifat yang tidak bisa diajak dalam berorganisasi dan akan lebih sulit jika diperkerjakan didalam lingkungan yang selalu bekerjasama.
4) Manipulatif
            Pengertian manipulatif adalah suatu tindakan memanipulasi yang berasal dari kata dasar Manipulasi yang berarti sebuah proses rekayasa dengan melakukan penambahan, pensembunyian, penghilangan atau pengkaburan terhadap suatu bagian atau keseluruhan sebuah realitas, kenyataan, fakta-fakta ataupun data-data yang dilakukan berdasarkan sistem perancangan sebuah tata sistem nilai, manipulasi adalah bagian penting dari tindakan penanamkan gagasa, sikap, sistem berfikir, perilaku dan kepercayaan tertentu.
5) Agresif
            Perilaku agresif cenderung bersikap otoriter yang bermain perintah. Individu yang bertipe agresif selalu tidak mempertimbangkan kepentingan orang lain, yang ada hanya kepentingan pribadinya. Apapun yang menjadi keinginannya maka itu harus dilaksanakan. Orang yang berperilaku agresif, akan menemui berbagai kesulitan pada waktu bekerja pada tim.
Ciri-ciri seseorang yang mempunyai sifat agresif :
a) Jujur, terbuka namun cara mengungkapkan perasaam tidak tepat.
b) Cenderung memaksakan kehendak.
c) Diliputi rasa marah dan menyalahkan.
d) Ingin menjatuhkan orang lain.
e) Menimbulkan ketegangan, rasa sakit, cemas dan salah.
f) Menggunakam segala cara verbal dan nonverbal untuk melakukan
sesuatu, misal: sinisme dan kekerasan.

D.  Cara mencegah sifat Machiavellian
Sifat Machiavellian ini dapat dicegah dengan lima cara berikut yaitu :
1) Menandatangani surat perjanjian etika
            Para pegawai dari Kantor Akuntan Publik (KAP) perlu bahkan harus menandatangani surat perjanjian beretika ketika mulai bekerja di KAP tadi. Ini sebagai dasar, baik itu dasar hukum moral maupun hukum pidana jika nanti terjadi tindakan yang melanggar etika. Penelitian-penelitian di bidang psikologi (Forsyith 1980, Hogan 1970, Kelman & Lawrance 1972, Kohlberg 1976) dalam (Chrismastuti dan Purnamasari, 2003) membuktikan bahwa orientasi etika dikendalikan oleh dua karakter yaitu idealisme dan relativisme. Idealisme mengacu pada suatu hal yang dipercaya oleh individu dengan konsekuensi yang dimiliki dan diinginkannya tidak melanggar nilai-nilai moral.
            Sedangkan relativisme adalah suatu sikap penolakan terhadap nilai-nilai etika moral yang absolut dalam mengarahkan sikap etis. Jika ditelaah lagi, maka sifat relativisme akan cenderung mengarah ke sifat Machiavellis. Dengan menandatangani surat perjanjian etika, diharapkan sifat relativisme ini dapat ditekan agar tercipta keseragaman tindakan etis bagi auditor.
            Untuk itu, etika profesi mencakup standar-standar sikap bagi seorang profesional yang didesain dengan baik. Etika profesi didesain untuk mendorong sikap yang ideal, namun juga harus realistik dan dapat diterapkan. Jangan sampai perjanjian etika yang telah ditandatangani hanya menjadi sebuah formalitas belaka. Jadi, jika nanti terdapat pelanggaran, maka si pelanggar bersedia untuk dikenai sangsi atau konsekuensi yang telah ditetapkan karena dia telah menyetujui etika-etika yang disepakatinya. Diharapkan dengan adanya surat perjanjian etika, sifat machiavellian bagi diri seorang auditor dapat ditekan karena telah adanya standar etika yang telah disepakati dan terdapat juga konsekuensi di dalamnya.
2) Meningkatkan standar mutu KAP
            Makna mutu atau kualitas suatu layanan dalam suatu KAP erat kaitannya dengan tingkat kesempurnaan, kesesuaian dengan kebutuhan, bebas dari cacat, ketidaksempurnaan, atau kontaminasi, serta kemampuan dalam memuaskan pemakai laporan keuangan. Para pengguna laporan adalah pihak yang paling tepat dan adil dalam menilai masalah mutu dari layanan yang disediakan. Mutu itu harus standar. Sebagai pengguna jasa, tentunya pengguna laporan akan merasa sangat terganggu dan kecewa ketika jasa yang diberikan tersebut ternyata memiliki kualitas yang sangat buruk, tidak layak, atau beresiko.
            Standar Pengendalian Mutu Kantor Akuntan Publik (KAP) memberikan panduan bagi kantor akuntan publik di dalam melaksanakan pengendalian kualitas jasa yang dihasilkan oleh kantornya dengan mematuhi berbagai standar yang ada.Unsur-unsur pengendalian mutu menurut SPAP yang harus harus diterapkan oleh setiap KAP pada semua jenis jasa audit, atestasi dan konsultansi meliputi independensi, penugasan personel, konsultasi, supervisi, hiring, pengembangan profesional, promosi keberlanjutan klien dan inspeksi. Jika unsur-unsur tadi ditingkatkan kualitasnya, maka dapat mencegah sifat-sifat machiavellian dari setiap staf yang ditugaskan oleh KAP. Setiap anggota telah memiliki kesadaran akan pentingnya mutu yang akan berdampak di kemudian hari. Akan tetapi, jika unsur unsure diatas tidak dijaga kualitasnya, sifat machiavellian berpotensi timbul.
            Kelemahan ini bisa dimanfaatkan oleh staf KAP untuk mencari jalan pintas dalam menyelesaikan pekerjaannya.Sistem pengendalian mutu KAP mencakup struktur organisasi, kebijakan dan prosedur yang ditetapkan KAP untuk memberikan keyakinan memadai tentang kesesuaian perikatan profesional dengan standar profesional. Sifat dan lingkup kebijakan dan prosedur pengendalian mutu yang ditetapkan oleh KAP tergantung pada berbagai faktor, antara lain ukuran KAP, tingkat otonomi yang diberikan kepada stafnya dan kantor-kantor cabangnya, sifat praktik, organisasi kantornya, dan pertimbangan biaya manfaat.
            Paragraf 4 SPAP SA Seksi 210 menjelaskan bahwa pendidikan formal auditor independen dan pengalaman profesionalnya saling melengkapi satu sama lain. Setiap auditor independen yang menjadi penanggung jawab suatu perikatan harus menilai dengan baik kedua persyaratan profesional ini dalam menentukan luasnya supervisi dan review terhadap hasil kerja para asistennya. Ini merupakan pernyataan peningkatan standar mutu dari SPAP. Mengingat pentingnya standar mutu, maka standar mutu harus diterapkan kepada setiap auditor yang bekerja di KAP agar kualitas pekerjaan yang diberikan oleh staf yang satu dengan staf yang lain sama dan akan memuaskan pengguna laporan. Hal ini penting agar kredibilitas KAP di masyarakat bisa dipandang baik. Harus dipahami bahwa profesi auditor rentan terhadap kepercayaan publik. Jangan sampai ada oknum auditor yang merusak kredibilitas sebuah KAP gara-gara tindakan yang tidak mematuhi standar mutu yang telah ditetapkan.
            Dengan peningkatan standar sistem tentunya akan membawa dampak positif bagi KAP itu sendiri. Antara lain dapat meningkatkan tingkat kepuasan dan kepercayaan pemakai laporan terhadap jasa yang diberikan. Selain itu, hal ini juga akan meningkatkan kinerja KAP dengan menghindari pemborosan anggaran, meminimalisasi biayabiaya, dan pada akhirnya adalah meningkatnya pendapatan secara signifikan.
3) Komunikasi yang baik dengan klien
            Komunikasi adalah sebuah tindakan untuk berbagi informasi, gagasan atau pun pendapat dari setiap partisipan komunikasi yang terlibat didalamnya guna mencapai kesamaan makna (Mitha, 2008).
            Dari definisi ini dapat dipahami bahwa salah satu tujuan komunikasi adalah untuk mengutarakan apa yang diinginkan. Menurut model dalam ilmu komunikasi, ini disebut sebagai model komunikasi interaksional, yaitu komunikator memberikan suatu stimuli dan komunikan melakukan respon yang diharapkan, sehingga terjadi feedback atau umpan balik. Komunikasi yang berlangsung bersifat dua arah dan ada dialog, di mana setiap partisipan memiliki peran ganda.
       Dalam melakukan audit, sangat penting untuk melakukan komunikasi yang baik dengan klien. Tujuannya agar mudah dalam memperoleh data atau bukti audit sehingga bisa mengurangi potensi munculnya sikap machiavellian untuk melakukan modifikasi data yang disebabkan karena jeleknya komunikasi menyebabkan klien tidak bersedia atau mempersulit dalam memberikan data. Terkadang klien salah menangkap maksud dari seorang auditor karena kekurangan auditor dalam berkomunikasi. Contoh auditor meminta kepada klien data mengenai nama-nama pembelinya untuk permintaan konfirmasi, tetapi karena tidak dikomunikasikan dengan baik apa manfaat bagi klien bila dilakukan konfirmasi, maka klien terkadang mempersulit auditor dalam memperolehnya.
            Setelah berbicara mengenai komunikasi dengan klien, akan timbul sebuah pertanyaan. Bagaimana mengetahui komunikasi yang dilakukan kepada klien sudah efektif. Komunikasi dikatakan efektif jika beberapa hal berikut terpenuhi :
a) Munculnya pengertian dari klien tentang maksud auditor
b) Kesenangan untuk melakukan hal yang diminta auditor
c) Adanya perubahan sikap ke arah yang lebih bisa berkompromi
d) Peningkatan hubungan sosial yang baik antara klien dan auditor
e) Munculnya tindakan untuk melakukan apa yang diinginkan auditor
            Jika komunikasi yang dilakukan telah efektif, maka sifat machiavellian dapat ditekan. Logikanya jika klien tahu maksud sebenarnya dari audit, maka dia tentunya akan membantu kelancaran proses ini. Hanya saja, kata “audit” merupakan momok bagi perusahaan karena dianggap sebagai pencarian kesalahan yang dilakukan auditor, auditor selalu ditakuti oleh perusahaan padahal auditor juga sama seperti kebanyakan orang, dia juga manusia. Seorang auditor yang sifat machiavelliannya tinggi cendrung melakukan tindakan kecurangan atau memodifikasi data jika tujuan auditnya belum tercapai akibat tidak adanya data atau bukti. Sebelum hal ini terjadi, maka harus ada pencegahan dari KAP, salah satunya dengan memberikan pelatihan komunikasi yang berkelanjutan.
4) Berbagi pengalaman antar partner kerja
            Salah satu upaya untuk mengurangi tindakan Machiavellian yang dapat dilakukan seorang auditor adalah berbagi pengalamannya di lapangan dengan partner kerja. Berbagi pengalaman ini dapat dilakukan secara personal maupun dengan membentuk forum yang terdiri dari beberapa orang untuk secara bersama-sama memecahkan masalah yang dihadapi tiap-tiap individu. Pengalaman yang diperoleh setiap auditor tentunya berbeda-beda. Diharapkan pengalaman auditor satu bisa memecahkan maslaah auditor lain. Jika ada solusi pemecahannya, makatindakan mencari jalan pintas bisa dihindarkan.Berbagi pengalaman juga bermanfaat mengurangi tingkat stress staf audit. Terkadang apa yang diharapkan auditor tidak sesuai dengan kenyataan yang diinginkan.
            Banyak faktor yang mempengaruhinyaseperti tidak baiknya komunikasi di klien sampai gagal menemukan bukti atau manajemen sulit memberikan bukti yang dibutuhkan. Bagi sebagian auditor junior, hal ini akan menyebabkan stress karena pada masa-masa awal bekerja, seseorang berusaha menampilkan potensinya. stress juga menyebabkan penurunan kinerja bagi auditor. Terkonsentrasi pada satu masalah akan membuat tingkat stress akan semakin tinggi. Dalam hal ini semua pihak harus peka. Supervisor hendaknya melakukan pengontrolan tidak hanya pada kualitas pekerjaan, tetapi juga pada kualitas mental karena kualitas mental ini akan mempengaruhi kualitas pekerjaan auditor.
            Berbagi pengalaman antar partner kerja perlu dilakukan secara rutin untuk tetap menjaga standar mutu serta kualitas staf yang ada di KAP. Akan tetapi tidak semua KAP melakukan cara seperti ini. KAP yang tidak melakukannya terlalu berkonsentrasi pada aspek teknik, tanpa memikirkan pengembangan mental individu auditor. Jika aspek ini kurang diperhatikan, auditor dengan skala Machiavellian tinggi cenderung membenarkan setiap tindakan yang dia rasa benar dan berani mengambil resiko jika dihadapkan pada grey area. Tentu saja hal ini akan berdampak pada kualitas pekerjaan auditor.
5) Lingkungan kerja yang agamis
            Pertumbuhan fisik berhenti ketika kita dewasa, sedangkan pertumbuhan psikis tidak berhenti hingga kita mati. Kalimat inimungkin dapat sedikit menggambarkan betapa pentingnya berinteraksi dalam linkungan kerja seorang auditor. Berinteraksi dengan lingkungan kerja adalah hal yang niscaya terjadi dalam hidup sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan. Oleh karena itu, nilai agama dan budaya yang berlaku di lingkungan kerja sangat berpengaruh dalam pembentukan jiwa religiusitas auditor. Ketika sebuah lingkungan kerja menjunjung tinggi nilai-nilai agama, maka berpengaruh besar terbentuknya jiwa religiusitas pada individu-individu yang berinteraksi di lingkungan tersebut.
            Begitu pun sebaliknya, ketika lingkungan tersebut tidak menjunjung nilai-nilai agama, maka individu-individunya pun akan jauh dari nilai-nilai keagamaan. Lingkungan kerja yang agamis akan membantu auditor dalam memahami nilai-nilai agama yang mengajarkan kebaikan dan menghindari kemungkaran. Disana kepribadiannya secara tidak sadar terbentuk oleh pola perilaku lingkungan yang agamis.
            Menciptakan lingkungan yang agamis bisa dilakukan dengan melakukan ibadah bersama tiap harinya, mengadakan perayaan acara acara keagamaan bersama dan bahkan mungkin mengadakan training - training yang dapat meningkatkan kualitas diri seorang auditor seperti ESQ. Hal ini secara tidak langsung akan membimbing auditor untuk bersikap sesuai etika ketika berada pada grey area yang akan mengarah pada tindakan Machiavellian. Memang tidak mudah untuk menciptakan lingkungan yang agamis mengingat kesibukan auditor. Akan tetapi harus diupayakan ada kegiatan semacam ini pada KAP dengan tujuan meningkatkan kualitas mental auditornya dalam menghadapi sifat-sifat Machiavellian.
            Lima cara di atas akan saling mendukung dalam mencegah sifat Machiavellian dalam diri seorang auditor. Tidak hanya dibutuhkan kesadaran mengenai etika, tetapi juga perlu adanya dukungan pemahaman agama dan komunikasi yang baik dengan berbagai pihak menyangkut audit. Jika kualitas auditornya tinggi, maka kualitas laporan yang dihasilkan juga baik. Saran saya, bagi KAP yang mungkin belum menerapkan lima cara di atas untuk segera menerapkannya.Harapannya agar kualitas pekerjaan yang dihasilkan sesuai dengan  standard dan kepercayaan pengguna laporan keuangan tetap terjaga pada profesi audit
Kak Zay
kegiatan sehari-hari kuliah dan berdagang. karena saya suka dengan teknologi saya memegang beberapa blog dan hanya memegang satu chennel di youtube

Related Posts

Post a Comment

SUBSCRIBE BLOG