A. PENDAHULUAN
B. Pengertian Sifat Machiavelianis
Kohlberg
(1981) menjelaskan bahwa orientasi etika mempunyai hubungan dengan
dimensi-dimensi etis seperti Machiavellian. Sifat Machiavelianis diperkenalkan
oleh seorang ahli filsuf politik dari Itali bernama Niccolo Machiavellian
(1469-1527).
Sifat
Machiavellian merupakan suatu keyakinan atau persepsi yang diyakini tentang
hubungan antar personal. Persepsi ini akan membentuk suatu kepribadian yang
mendasari sikap dalam berhubungan dengan orang lain. Kepribadian Machiavellian
dideskripsikan oleh Christie and Geis (1980) sebagai kepribadian yang kurang
mempunyai afeksi dalam hubungan personal, mengabaikan moralitas konvensional,
dan memperlihatkan komitmen ideologi yang rendah. Kepribadian Machiavellian
mempunyai kecenderungan untuk memanipulasi orang lain, sangat rendah
penghargaannya pada orang lain.
Kecenderungan
sifat Machiavellian diukur dengan Skala Mach IV. Skala ini terdiri dari 20 item
pertanyaan yang didesain untuk mengukur keyakinan responden tentang apakah
orang lain rentan atau mudah dimanipulasi dalam hubungan personal. Skala Mach
tinggi menunjuk pada pribadi yang mempunyai empati rendah, lebih bertahan untuk
tidak mengaku melakukan kecurangan, pandai membuat kebohongan menjadi masuk
akal, dan ketiadaan emosi dalam hubungan interpersonal. Turnbell (1976)
mengemukakan bahwa individu dengan skala Mach tinggi cenderung memanfaatkan
situasi untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Intinya
individu dengan skala Mach yang tinggi mempunyai kepribadian manipulatif dan
mempunyai sifat kognitif kepada orang lain, dan karena cara pandang mereka
adalah goal-oriented bukan person-oriented, maka mereka cenderung lebih
berhasil dalam situasi tawar menawar (face-to-face bargaining situation) daripada
skala Mach rendah (Christie and Geis).
Stereotip
Machiavellian ini merupakan hal umum dalam persepsi profesi bisnis (McLean,
1992),. Disiplin bisnis lain, seperti pemasaran dan manajemen, menarik individu
yang mempunyai sifat manipulatif dan agresif yang biasanya diwujudkan dalam
pencapaian sukses karir yang tinggi (Moore, 1995). Lingkungan bisnis yang
menuntut pemikiran strategis dan kompetitif membuat metafora kemenangan
(winning) menjadi hal yang diterima umum. Pola pikir-pola pikir seperti itu menciptakan
sikap yang mengarah pada Machiavellian.
Penelitian
terdahulu banyak dilakukan untuk meneliti sifat Machiavellian dan kecenderungan
sikap etis ini pada profesi-profesi bisnis. Jones dan Kavanagh (1996) menemukan
bahwa skala Mach tinggi cenderung bertindak tidak etis dibandingkan dengan
skala Mach rendah. Penelitian Corzine (1999) menemukan bahwa “US bankers”
memiliki rasio Mach yang relatif rendah. Penelitian ini juga mengungkapkan
bahwa bankers yang memiliki skala Mach tinggi pada umumnya merasa bahwa
peraturan perbankan yang ketat membatasi kemampuan perusahaan untuk maju.
Turnbell (1976) menemukan bahwa seorang yang memiliki skor Mach tinggi
mempunyai kecenderungan untuk mengeksploitasi keadaan guna keuntungan diri
sendiri. Ghosh dan Crain (1996) menemukan indikasi bahwa mahasiswa bisnis
dengan skor Mach rendah keinginan untuk tidak taatnya juga rendah.
Berbeda
dengan profesi binis, bagi profesi akuntan kepribadian Machiavellian justru
menjadi ancaman. Profesi akuntan dituntut untuk mempunyai tanggung jawab etis
yang bahkan lebih daripada tanggung jawab profesi lainnya. Namun penelitian
mengenai hubungan sifat Machiavellian dengan kecenderungan sikap etis profesi
akuntan belum banyak dilakukan. Penelitian Richmond (2003) menemukan bahwa
Skala Machiavellian (Skala Mach IV) merupakan instrumen yang tepat untuk
mengukur kecenderungan sikap etis akuntan. Hasil penelitian ini mengindikasikan
bahwa akuntan dengan skala Machiavellian tinggi cenderung menerima sikap-sikap
yang secara etis diragukan. Dengan kata lain variabel Machiavellian mempunyai
kemampuan untuk memprediksi kecenderungan sikap etis akuntan.
Paham
Machiavelianis diajarkan oleh seorang ahli filsuf politik dari Italian bernama
Niccolo Machiavelli (1469-1527). Christie dan Geis (1970) dalam penelitiannya
mendeskripsikan kepribadian Machiavellian sebagai suatu kepribadian antisosial,
yang tidak memperhatikan moralitas konvensional dan mempunyai komitmen
ideologis yang rendah. Disini, seorang Machiavellian mempunyai kecenderungan
untuk mementingkan kepentingan sendiri, manipulatif dan agresif. Menariknya,
Machiavellian merupakan hal yang biasa dan dapat diterima dalam persepsi
profesi bisnis namun bukan tipe karakter yang menarik bagi profesi akuntan
terutam auditor. Profesi akuntan (Auditor) dituntut untuk mempunyai tanggung
jawab etis yang bahkan lebih daripada tanggung jawab profesi lainnya.
Eksistensi profesi sangat bergantung pada kepercayaan masyarakat sebagai pengguna jasa profesi. Jika di profesi lain
mendapatkan penugasan dari pengguna jasa dan bertanggung jawab juga kepadanya,
sementara akuntan (Auditor) mendapat penugasan dan memperoleh fee dari
perusahaan yang menerbitkan laporan keuangan, namun bertanggung jawab kepada
pengguna laporan keuangan.
Menurut
Chrismastuti dan Purnamasari (2004), Skala Machiavellian (Skala Mach IV)
merupakan instrumen yang tepat untuk mengukur kecenderungan sikap etis Akuntan
(Auditor). Akuntan (Auditor) dengan skala Machiavellian tinggi cenderung
menerima sikap-sikap yang secara etis diragukan. Pendidikan,Status, Gender, dan
Usia merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi besar pada perilaku etis
Akuntan (Auditor).
C.
indikator-indikator yang dapat mempengaruhi sifat machiavellian
1) Afeksi
Merupakan
aspek kepribadian yang berupa perasaan atau emosi pada diri individu. Chaplin
(1995) menjelaskan afeksi sebagai “satu kelas yang luas dari proses-proses
mental, termasuk perasaan, emosi suasana hati, dan temperamen. Perkembangan
afeksi pada setiap periode perkembangan manusia dapat dijelaskan sebagai
berikut.
a) Masa Bayi
Pada
waktu lahir, emosi tampak dalam bentuk sederhana, hamper tidak terbedakan sama
sekali. Seiring dengan bertambahnya usia, emosi pada bayi mulai terbedakan, dan
reaksi emosional dapat ditimbulkan oleh berbagai macam rangsangan.
b) Masa Kanak-kanak
Selama
masa kanak-kanak emosi sangat kuat. Saat ini merupakan saat ketidakseimbangan
karena anak-anak mudah terbawa ledakanledakan emosional sehingga sulit
dibimbing dan diarahkan. Dengan bertambah besarnya badan, anak-anak mulai mengungkapkan
amarah dalam bentuk murung, menggerutu, dan berbagai ungkapan kasar. Ledakan
amarah menjadi jarang karena anak mengetahui bahwa tindakan tersebut dianggap
sebagai perilaku bayi.
c) Masa Remaja
Secara
tradisional masa remaja dianggap sebagai periode “badai dan tekanan”, suatu
masa dimana ketegangan emosi meninggi sabagai akibat dari perubahan fisik dan
kelenjar. Selain itu, meningginya emosi terutama karena remaja di bawah tekanan
social dan menghadapi kondisi baru, sedangkan pada kanak-kanak dia kurang
mempersiapkan diri untuk menghadapai keadaan-keadaan itu.
Pola
emosi masa remaja adalah sama dengan pada masa kanakkanak. Perbedaannya
terletak pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan derajat, dan khususnya
pada pengendalian latihan individu terhadap ungkapan emosi mereka. Misalnya
perlakuan sebagai “anak kecil” atau secara “tidak adil” membuat remaja sangat
marah dibandingkan dengan hal-hal lain.
d) Masa Dewasa
Setelah
melewati masa remaja, maka individu yang berada pada tahap dewasa mempunyai
emosi yang dapat dikendalikan dan dikontrol. Hal ini sejalan dengan
perkembangan kognitif pada tahap tersebut. Orang dewasa telah mampu menempatkan
dimana emosi itu bisa ditunjukkan dan kapan tidak. Emosi yang sangat menonjol
pada masa ini adalah cinta dan perhatian terhadap lawan jenis. Pada masa ini
individu telah memikirkan masa depan serta pasangan hidupnya.
e) Masa Lansia
Masa
ini merupakan masa penutup pada rentang kehidupan seseorang, yaitu suatu masa
dimana seseorang telah “beranjak jauh” dari periode terdahulu yang lebih
menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh dengan manfaat. Pada usia
lanjut, emosi yang nampak tidak lagi seperti pada masa-masa sebelumnya (dewasa,
remaja) yang penuh gejolak. Manusia karena kemunduran fisik danmental maka
emosi pun tidak dimunculkan dengan mencolok, sehingga nampak bahwa pada usia
lanjut ini, manusia penuh dengan kebijaksanaan
2) Komitmen Ideologis Rendah
Mowday
(1982) mendefinisikan komitmen sebagai kekuatan relatif dari identifikasi
individu dan keterlibatannya sebagai kekuatan relative dari identifikasi
individu dengan organisasi kerja. Sedangkan Mitchell (1982) memandang komitmen
sebagai suatu orientasi nllai terhadap kerja yang menunjukkan bahwa individu
sangat memikirkan pekerjaannya. Dimana pekerjaan memberikan kepuasan hidup,
danpekerjaan memberikan status bagi indvidu. Komitmen adalah suatu janji
terhadap diri sendiri atau kepada orang lain. Apabila komitmen seseorang kecil
atau rendah maka janji serta tekad untuk tujuan tertentu akan susah di capai.
Seseorang dengan komitmen ideoligis rendah akan cenderung tidak bisa memberikan
suatu keputusan dengan tepat, dan lebih sering untuk mengikuti pendapat atau
keputusan orang lain.
3) Ego
Egois
berasal dari kata ego, ego yang berarti aku dalam bahasa Yunani. Seseorang yang
disebut egois yaitu yang selalu mementingkan dirinya sendiri di atas
kepentingan orang lain. Seseorang egois merupakan seseorang yang takut
kehilangan apa yang dimiliki atau haknya. Sikap egois merupakan kelanjutan dari
apa yang telah diterima selama ini. Seseorang dengan sifat egois tidak akan
mempedulikan keadaan sekitar, dan lebih mementingkan kepetingan pribadi. Sifat
semacam ini adalah sifat yang tidak bisa
diajak dalam berorganisasi dan akan lebih sulit jika diperkerjakan didalam
lingkungan yang selalu bekerjasama.
4) Manipulatif
Pengertian
manipulatif adalah suatu tindakan memanipulasi yang berasal dari kata dasar
Manipulasi yang berarti sebuah proses rekayasa dengan melakukan penambahan,
pensembunyian, penghilangan atau pengkaburan terhadap suatu bagian atau
keseluruhan sebuah realitas, kenyataan, fakta-fakta ataupun data-data yang
dilakukan berdasarkan sistem perancangan sebuah tata sistem nilai, manipulasi
adalah bagian penting dari tindakan penanamkan gagasa, sikap, sistem berfikir,
perilaku dan kepercayaan tertentu.
5) Agresif
Perilaku
agresif cenderung bersikap otoriter yang bermain perintah. Individu yang
bertipe agresif selalu tidak mempertimbangkan kepentingan orang lain, yang ada
hanya kepentingan pribadinya. Apapun yang menjadi keinginannya maka itu harus
dilaksanakan. Orang yang berperilaku agresif, akan menemui berbagai kesulitan
pada waktu bekerja pada tim.
Ciri-ciri seseorang yang mempunyai sifat agresif :
a) Jujur, terbuka namun cara mengungkapkan perasaam
tidak tepat.
b) Cenderung memaksakan kehendak.
c) Diliputi rasa marah dan menyalahkan.
d) Ingin menjatuhkan orang lain.
e) Menimbulkan ketegangan, rasa sakit, cemas dan
salah.
f) Menggunakam segala cara verbal dan nonverbal untuk
melakukan
sesuatu, misal: sinisme dan kekerasan.
D. Cara mencegah sifat Machiavellian
Sifat Machiavellian ini dapat dicegah dengan lima cara
berikut yaitu :
1) Menandatangani surat perjanjian etika
Para
pegawai dari Kantor Akuntan Publik (KAP) perlu bahkan harus menandatangani
surat perjanjian beretika ketika mulai bekerja di KAP tadi. Ini sebagai dasar,
baik itu dasar hukum moral maupun hukum pidana jika nanti terjadi tindakan yang
melanggar etika. Penelitian-penelitian di bidang psikologi (Forsyith 1980, Hogan
1970, Kelman & Lawrance 1972, Kohlberg 1976) dalam (Chrismastuti dan
Purnamasari, 2003) membuktikan bahwa orientasi etika dikendalikan oleh dua
karakter yaitu idealisme dan relativisme. Idealisme mengacu pada suatu hal yang
dipercaya oleh individu dengan konsekuensi yang dimiliki dan diinginkannya
tidak melanggar nilai-nilai moral.
Sedangkan
relativisme adalah suatu sikap penolakan terhadap nilai-nilai etika moral yang
absolut dalam mengarahkan sikap etis. Jika ditelaah lagi, maka sifat
relativisme akan cenderung mengarah ke sifat Machiavellis. Dengan
menandatangani surat perjanjian etika, diharapkan sifat relativisme ini dapat
ditekan agar tercipta keseragaman tindakan etis bagi auditor.
Untuk
itu, etika profesi mencakup standar-standar sikap bagi seorang profesional yang
didesain dengan baik. Etika profesi didesain untuk mendorong sikap yang ideal,
namun juga harus realistik dan dapat diterapkan. Jangan sampai perjanjian etika
yang telah ditandatangani hanya menjadi sebuah formalitas belaka. Jadi, jika
nanti terdapat pelanggaran, maka si pelanggar bersedia untuk dikenai sangsi
atau konsekuensi yang telah ditetapkan karena dia telah menyetujui etika-etika
yang disepakatinya. Diharapkan dengan adanya surat perjanjian etika, sifat
machiavellian bagi diri seorang auditor dapat ditekan karena telah adanya
standar etika yang telah disepakati dan terdapat juga konsekuensi di dalamnya.
2) Meningkatkan standar mutu KAP
Makna
mutu atau kualitas suatu layanan dalam suatu KAP erat kaitannya dengan tingkat
kesempurnaan, kesesuaian dengan kebutuhan, bebas dari cacat, ketidaksempurnaan,
atau kontaminasi, serta kemampuan dalam memuaskan pemakai laporan keuangan.
Para pengguna laporan adalah pihak yang paling tepat dan adil dalam menilai
masalah mutu dari layanan yang disediakan. Mutu itu harus standar. Sebagai
pengguna jasa, tentunya pengguna laporan akan merasa sangat terganggu dan
kecewa ketika jasa yang diberikan tersebut ternyata memiliki kualitas yang
sangat buruk, tidak layak, atau beresiko.
Standar
Pengendalian Mutu Kantor Akuntan Publik (KAP) memberikan panduan bagi kantor
akuntan publik di dalam melaksanakan pengendalian kualitas jasa yang dihasilkan
oleh kantornya dengan mematuhi berbagai standar yang ada.Unsur-unsur
pengendalian mutu menurut SPAP yang harus harus diterapkan oleh setiap KAP pada
semua jenis jasa audit, atestasi dan konsultansi meliputi independensi,
penugasan personel, konsultasi, supervisi, hiring, pengembangan profesional,
promosi keberlanjutan klien dan inspeksi. Jika unsur-unsur tadi ditingkatkan
kualitasnya, maka dapat mencegah sifat-sifat machiavellian dari setiap staf
yang ditugaskan oleh KAP. Setiap anggota telah memiliki kesadaran akan
pentingnya mutu yang akan berdampak di kemudian hari. Akan tetapi, jika unsur
unsure diatas tidak dijaga kualitasnya, sifat machiavellian berpotensi timbul.
Kelemahan
ini bisa dimanfaatkan oleh staf KAP untuk mencari jalan pintas dalam
menyelesaikan pekerjaannya.Sistem pengendalian mutu KAP mencakup struktur
organisasi, kebijakan dan prosedur yang ditetapkan KAP untuk memberikan
keyakinan memadai tentang kesesuaian perikatan profesional dengan standar
profesional. Sifat dan lingkup kebijakan dan prosedur pengendalian mutu yang
ditetapkan oleh KAP tergantung pada berbagai faktor, antara lain ukuran KAP,
tingkat otonomi yang diberikan kepada stafnya dan kantor-kantor cabangnya,
sifat praktik, organisasi kantornya, dan pertimbangan biaya manfaat.
Paragraf
4 SPAP SA Seksi 210 menjelaskan bahwa pendidikan formal auditor independen dan
pengalaman profesionalnya saling melengkapi satu sama lain. Setiap auditor
independen yang menjadi penanggung jawab suatu perikatan harus menilai dengan
baik kedua persyaratan profesional ini dalam menentukan luasnya supervisi dan
review terhadap hasil kerja para asistennya. Ini merupakan pernyataan
peningkatan standar mutu dari SPAP. Mengingat pentingnya standar mutu, maka
standar mutu harus diterapkan kepada setiap auditor yang bekerja di KAP agar
kualitas pekerjaan yang diberikan oleh staf yang satu dengan staf yang lain
sama dan akan memuaskan pengguna laporan. Hal ini penting agar kredibilitas KAP
di masyarakat bisa dipandang baik. Harus dipahami bahwa profesi auditor rentan
terhadap kepercayaan publik. Jangan sampai ada oknum auditor yang merusak
kredibilitas sebuah KAP gara-gara tindakan yang tidak mematuhi standar mutu
yang telah ditetapkan.
Dengan
peningkatan standar sistem tentunya akan membawa dampak positif bagi KAP itu
sendiri. Antara lain dapat meningkatkan tingkat kepuasan dan kepercayaan
pemakai laporan terhadap jasa yang diberikan. Selain itu, hal ini juga akan
meningkatkan kinerja KAP dengan menghindari pemborosan anggaran, meminimalisasi
biayabiaya, dan pada akhirnya adalah meningkatnya pendapatan secara signifikan.
3) Komunikasi yang baik dengan klien
Komunikasi
adalah sebuah tindakan untuk berbagi informasi, gagasan atau pun pendapat dari
setiap partisipan komunikasi yang terlibat didalamnya guna mencapai kesamaan
makna (Mitha, 2008).
Dari
definisi ini dapat dipahami bahwa salah satu tujuan komunikasi adalah untuk
mengutarakan apa yang diinginkan. Menurut model dalam ilmu komunikasi, ini
disebut sebagai model komunikasi interaksional, yaitu komunikator memberikan
suatu stimuli dan komunikan melakukan respon yang diharapkan, sehingga terjadi
feedback atau umpan balik. Komunikasi yang berlangsung bersifat dua arah dan
ada dialog, di mana setiap partisipan memiliki peran ganda.
Dalam
melakukan audit, sangat penting untuk melakukan komunikasi yang baik dengan
klien. Tujuannya agar mudah dalam memperoleh data atau bukti audit sehingga
bisa mengurangi potensi munculnya sikap machiavellian untuk melakukan
modifikasi data yang disebabkan karena jeleknya komunikasi menyebabkan klien
tidak bersedia atau mempersulit dalam memberikan data. Terkadang klien salah
menangkap maksud dari seorang auditor karena kekurangan auditor dalam
berkomunikasi. Contoh auditor meminta kepada klien data mengenai nama-nama
pembelinya untuk permintaan konfirmasi, tetapi karena tidak dikomunikasikan
dengan baik apa manfaat bagi klien bila dilakukan konfirmasi, maka klien
terkadang mempersulit auditor dalam memperolehnya.
Setelah
berbicara mengenai komunikasi dengan klien, akan timbul sebuah pertanyaan.
Bagaimana mengetahui komunikasi yang dilakukan kepada klien sudah efektif.
Komunikasi dikatakan efektif jika beberapa hal berikut terpenuhi :
a) Munculnya pengertian dari klien tentang maksud
auditor
b) Kesenangan untuk melakukan hal yang diminta auditor
c) Adanya perubahan sikap ke arah yang lebih bisa
berkompromi
d) Peningkatan hubungan sosial yang baik antara klien
dan auditor
e) Munculnya tindakan untuk melakukan apa yang
diinginkan auditor
Jika
komunikasi yang dilakukan telah efektif, maka sifat machiavellian dapat
ditekan. Logikanya jika klien tahu maksud sebenarnya dari audit, maka dia
tentunya akan membantu kelancaran proses ini. Hanya saja, kata “audit”
merupakan momok bagi perusahaan karena dianggap sebagai pencarian kesalahan
yang dilakukan auditor, auditor selalu ditakuti oleh perusahaan padahal auditor
juga sama seperti kebanyakan orang, dia juga manusia. Seorang auditor yang
sifat machiavelliannya tinggi cendrung melakukan tindakan kecurangan atau
memodifikasi data jika tujuan auditnya belum tercapai akibat tidak adanya data
atau bukti. Sebelum hal ini terjadi, maka harus ada pencegahan dari KAP, salah
satunya dengan memberikan pelatihan komunikasi yang berkelanjutan.
4) Berbagi pengalaman antar partner kerja
Salah
satu upaya untuk mengurangi tindakan Machiavellian yang dapat dilakukan seorang
auditor adalah berbagi pengalamannya di lapangan dengan partner kerja. Berbagi
pengalaman ini dapat dilakukan secara personal maupun dengan membentuk forum
yang terdiri dari beberapa orang untuk secara bersama-sama memecahkan masalah
yang dihadapi tiap-tiap individu. Pengalaman yang diperoleh setiap auditor
tentunya berbeda-beda. Diharapkan pengalaman auditor satu bisa memecahkan
maslaah auditor lain. Jika ada solusi pemecahannya, makatindakan mencari jalan
pintas bisa dihindarkan.Berbagi pengalaman juga bermanfaat mengurangi tingkat
stress staf audit. Terkadang apa yang diharapkan auditor tidak sesuai dengan
kenyataan yang diinginkan.
Banyak
faktor yang mempengaruhinyaseperti tidak baiknya komunikasi di klien sampai
gagal menemukan bukti atau manajemen sulit memberikan bukti yang dibutuhkan.
Bagi sebagian auditor junior, hal ini akan menyebabkan stress karena pada
masa-masa awal bekerja, seseorang berusaha menampilkan potensinya. stress juga
menyebabkan penurunan kinerja bagi auditor. Terkonsentrasi pada satu masalah akan
membuat tingkat stress akan semakin tinggi. Dalam hal ini semua pihak harus
peka. Supervisor hendaknya melakukan pengontrolan tidak hanya pada kualitas
pekerjaan, tetapi juga pada kualitas mental karena kualitas mental ini akan
mempengaruhi kualitas pekerjaan auditor.
Berbagi
pengalaman antar partner kerja perlu dilakukan secara rutin untuk tetap menjaga
standar mutu serta kualitas staf yang ada di KAP. Akan tetapi tidak semua KAP
melakukan cara seperti ini. KAP yang tidak melakukannya terlalu berkonsentrasi
pada aspek teknik, tanpa memikirkan pengembangan mental individu auditor. Jika
aspek ini kurang diperhatikan, auditor dengan skala Machiavellian tinggi
cenderung membenarkan setiap tindakan yang dia rasa benar dan berani mengambil
resiko jika dihadapkan pada grey area. Tentu saja hal ini akan berdampak pada
kualitas pekerjaan auditor.
5) Lingkungan kerja yang agamis
Pertumbuhan
fisik berhenti ketika kita dewasa, sedangkan pertumbuhan psikis tidak berhenti
hingga kita mati. Kalimat inimungkin dapat sedikit menggambarkan betapa
pentingnya berinteraksi dalam linkungan kerja seorang auditor. Berinteraksi
dengan lingkungan kerja adalah hal yang niscaya terjadi dalam hidup sebagai
makhluk sosial yang saling membutuhkan. Oleh karena itu, nilai agama dan budaya
yang berlaku di lingkungan kerja sangat berpengaruh dalam pembentukan jiwa
religiusitas auditor. Ketika sebuah lingkungan kerja menjunjung tinggi
nilai-nilai agama, maka berpengaruh besar terbentuknya jiwa religiusitas pada
individu-individu yang berinteraksi di lingkungan tersebut.
Begitu
pun sebaliknya, ketika lingkungan tersebut tidak menjunjung nilai-nilai agama,
maka individu-individunya pun akan jauh dari nilai-nilai keagamaan. Lingkungan
kerja yang agamis akan membantu auditor dalam memahami nilai-nilai agama yang
mengajarkan kebaikan dan menghindari kemungkaran. Disana kepribadiannya secara
tidak sadar terbentuk oleh pola perilaku lingkungan yang agamis.
Menciptakan
lingkungan yang agamis bisa dilakukan dengan melakukan ibadah bersama tiap
harinya, mengadakan perayaan acara acara keagamaan bersama dan bahkan mungkin
mengadakan training - training yang dapat meningkatkan kualitas diri seorang
auditor seperti ESQ. Hal ini secara tidak langsung akan membimbing auditor
untuk bersikap sesuai etika ketika berada pada grey area yang akan mengarah
pada tindakan Machiavellian. Memang tidak mudah untuk menciptakan lingkungan
yang agamis mengingat kesibukan auditor. Akan tetapi harus diupayakan ada
kegiatan semacam ini pada KAP dengan tujuan meningkatkan kualitas mental
auditornya dalam menghadapi sifat-sifat Machiavellian.
Lima
cara di atas akan saling mendukung dalam mencegah sifat Machiavellian dalam
diri seorang auditor. Tidak hanya dibutuhkan kesadaran mengenai etika, tetapi
juga perlu adanya dukungan pemahaman agama dan komunikasi yang baik dengan
berbagai pihak menyangkut audit. Jika kualitas auditornya tinggi, maka kualitas
laporan yang dihasilkan juga baik. Saran saya, bagi KAP yang mungkin belum
menerapkan lima cara di atas untuk segera menerapkannya.Harapannya agar
kualitas pekerjaan yang dihasilkan sesuai dengan standard dan kepercayaan pengguna laporan
keuangan tetap terjaga pada profesi audit
Post a Comment
Post a Comment