PENDAHULUAN
A.
Pengertian Framing dan Groupthink
Analisis framing adalah salah
satu metode analisis media, seperti halnya analisis isi dan analisis semiotik.
Secara sederhana, Framing adalah membingkai sebuah peristiwa, atau dengan kata
lain framing digunakan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang
yang digunakan wartawan atau media massa ketika menyeleksi isu dan menulis
berita.
Framing merupakan metode
penyajian realitas di mana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari
secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan memberikan penonjolan
pada aspek tertentu. Penonjolan aspek-aspek tertentu dari isu berkaitan dengan
penulisan fakta. Ketika aspek tertentu dari suatu peristiwa dipilih, bagaimana
aspek tersebut ditulis. Hal ini sangta berkaitan dengan pamakaian diksi atau
kata, kalimat, gambar atau foto, dan citra tertentu untuk ditampilkan kepada
khalayak.
Analisis framing digunakan untuk
mengkaji pembingkaian realitas (peristiwa, individu, kelompok, dan lainnya)
yang dilakukan oleh media massa. Pembingkaian tersebut merupakan proses
konstruksi, yang berarti realitas dimaknai dan direkonstruksi dengan cara dan
makna tertentu. Akibatnya, hanya bagian tertentu saja yang lebih bermakna,
lebih diperhatikan, dianggap penting, dan lebih mengena dalam pikiran khalayak.
Dalam praktik, analisis framing banyak digunakan untuk melihat frame surat
kabar, sehingga dapat dilihat bahwa masing-masing surat kabar sebenarnya
meiliki kebijakan politis tersendiri.
Analisis framing sebagai suatu
metode analisis teks banyak mendapat pengaruh dari teori sosiologi dan
psikologi. Dari sosiologi terutama sumbangan pemikiran Peter L. Berger dan
Erving Goffman, sedangkan teori psikologi terutama berhubungan dengan skema dan
kognisi.
Analisis framing termasuk ke
dalam paradigma konstruksionis. Paradigma ini mempunyai posisi dan pandangan
terhadap media dan teks berita yang dihasilkannya. Konsep konstruksionisme
diperkenalkan oleh sosiolog interpretatif , Peter L. Berger. Menurut Berger, realitas
itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh
Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi.
Sedangkan
Groupthink
adalah jenis pemikiran yang ditunjukkan oleh anggota kelompok yang berusaha
untuk meminimalkan konflik dan mencapai konsensus tanpa pengujian secara
kritis, analisis yang tepat, dan mengevaluasi ide-ide dari luar kelompok.
Kreativitas individu, keunikan, dan cara berpikir yang independen menjadi
hilang karena mengejar kekompakan kelompok.
Dalam kasus groupthink, anggota kelompok menghindari untuk megutarakan
sudut pandang pribadi di luar zona konsensus berpikir kelompoknya. Motif ini dilakukan
anggota kelompok agar tidak terlihat bodoh, atau keinginan untuk menghindari
konflik dengan anggota lain dalam kelompok. Groupthink dapat menyebabkan suatu
kelompok membuat keputusan secara
tergesa-gesa dan membuat keputusan yang tidak rasional. Dalam groupthink,
pendapat individu disisihkan karena dikhawatirkan dapat mengganggu keseimbangan
kelompok.
C.
Model Analisis Framing
·
Murray Edelman
Murray
Edelman adalah ahli komunikasi yang banyak menulis mengenai bahasa dan simbol
politik dalam komunikasi. Edelman mensejajarkan framing sebagai kategorisasi:
pemakaian perspektif tertentu dengan pemakaian kata-kata yang tertentu pula
dapat menandakan bagaimana fakta atau realitas dipahami. Kategorisasi itu
merupakan kekuatan yang besar dalam memengaruhi pikiran dan kesadaran publik.
Dalam memengaruhi kesadaran publik, kategorisasi lebih halus dibanding
propaganda. Kategorisasi merupakan salah satu gagasan utama dari Edelman yang
dapat mengarahkan pandangan khalayak akan suatu isu dan membentuk pengertian
mereka akan suatu isu. Untuk itu, dalam melihat suatu peristiwa, elemen paing
penting adalah bagaimana orang membuat kategorisasi atas peristiwa.
·
Robert N. Entman
Robert N.
Entman adalah salah seorang ahli yang meletakan dasar-dasar bagi analisis
framing untuk studi isi media. Konsep framing oleh Entman digunakan untuk
menggambarkan proses seleksi dan menonjolkan aspek tertentu dari realitas yang
dibangun oleh media massa. Framing dapat dipandang sebagai penempatan
informasi-informasi dalam konteks yang khas, sehingga isu tertentu mendapatkan
alokasi lebih besar daripada isu yang lain. Selain itu, framing juga memberi
tekanan lebih pada bagaimana teks komunikasi ditampilkan dan bagian mana yang
ditonjolkan atau dianggap penting oleh pembuat teks. Dengan bentuk seperti itu,
sebuah gagasan atau informasi lebih mudah terlihat, lebih mudah diperhatikan,
diingat, dan ditafsirkan karena berhubungan dengan skema pandangan khalayak.
·
William A. Gamson
William A.
Gamson adalah seorang sosiolog yang menaruh minat besar pada tudi media, dan
salah satu ahli yang paling banyak menulis tentang framing. Gagasan Gamson terutama
menghubungkan wacana media di satu sisi dengan pendapat umum di sisi yang lain.
Menurut Gamson, wacana media adalah elemen yang penting untuk memahami dan
mengerti pendapat umum yang berkembang atas suatu isu atau peristiwa.
Sebagai
sosiolog, titik perhatian Gamson terutama pada studi mengenai gerakan sosial,
perhatiannya pada studi gerakan sosial mau tidak mau menyinggung studi media,
karena media merupakan elemen penting dari gerakan sosial. Jika dikaitkan
dengan framing, Gamson berpendapat bahwa dalam suatu peristiwa, framing
berperan dalam mengorganiasi pengalaman dan petunjuk tindakan, baik secara
individu maupun kolektif. Dalam pemahaman ini, frame tentu saja berperan dan
menjadi aspek yang menentukan dalam partisipasi gerakan sosial. Misalnya media
massa membingkai sebuah peristiwa, sehingga khalayak mempunyai pandangan yang
sama atas suatu isu dan memiliki tujuan bersama.
·
Zhongdang Pan dan Gerald
M. Kosicki
Model
framing yang diperkenalkan oleh Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki ini adalah
model yang paling populer dan banyak dipakai. Bagi Pan dan Kosick, analisis
framing ini dapat menjadi salah satu alternatif dalam menganalisis teks media
di samping analisis isi kuantitatif.
Framing
didefinisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol, menempatkan
informasi lebih daripada yang lain sehingga khalayak lebih tertuju pada pesan
tersebut. Menurut Pan dan Kosicki, ada dua konsepsi dari framing yang saling
berkaitan, pertama adalah konsepsi psikologi, dan kedua adalah konsepsi
sosiologis.
Framing
dalam konsepsi psikologis lebih menekankan bagaimana seseorang memproses
informasi dalam dirinya, atau berkaitan dengan struktur dan proses kognitif
seseorang dalam mengolah sejumlah informasi dan ditunjukkan dalam skema
tertentu. Sedangkan Framing dalam konsepsi sosiologis lebih melihat pada proses
internal seseorang, bagaimana individu secara kognitif menafsirkan suatu
peristiwa dalam cara pandang tertentu, maka pandangan sosiologis lebih melihat
konstruksi sosial atas realitas. Frame di sini dipahami sebagai proses
bagaimana seseorang mengklasifikasikan, mengorganisasikan, dan menafsirkan
pengalaman sosialnya untuk mengerti dirinya dan realitas luar dirinya. Frame di
sini berfungsi membuat suatu realitas menjadi teridentifikasi karena sudah ditandai
dengan label tertentu.
Dalam analisis framing model ini
memiliki 7 perangkat utama, yaitu:
A.
Skema
berita.
B.
Kelengkapan
berita.
C.
Detail.
D.
Koherensi.
E.
Bentuk
kalimat.
F.
Kata
ganti.
G.
Leksikon.
H.
Grafis.
I.
Metafora.
D.
Asumsi Groupthink
Dalam hal ini Irving Janis memfokuskan
penelitiannya pada Problem-Solving Group dan task-oriented group, yang
mempunyai tujuan utamanya yaitu untuk mengambil keputusan dan memberikan
rekomendasi kebijakan akan solusi-solusi yang ada.
Berikut merupakan 3 asumsi
penting dalam Groupthink Theory :
1.
Kondisi-kondisi
di dalam kelompok yang mempromosikan kohesivitas yang tinggi.
Ernest
Bormann mengamati bahwa anggota kelompok sering kali memiliki perasaan yang
sama atau investasi emosional, maka mereka cenderung untuk mempertahankan
identitas kelompok. Pemikirian kolektif ini biasanya menyebabkan sebuah
kelompok memiliki hubungan yang baik, tetap bersatu, memiliki semangat
kebersamaan dan memiliki kohesivitas tinggi.
Kohesivitas : batasan dimana
anggota-anggota suatu kelompok bersedia untuk bekerja sama. Atau bisa dibilang,
rasa kebersamaan dari kelompok tersebut. Kelompok dimana anggotanya saling
tertarik dengan sikap, nilai dan perilaku anggota lainnya cenderung dapat
dikatakan kohesif.
2.
Pemecahan
masalah di dalam kelompok pada dasarnya merupakan proses yang terpadu.
Para
anggota biasanya berusaha untuk dapat bergaul dengan baik. Dennis Gouran
mengamati bahwa kelompok-kelompok rentan terhadap batasan afiliatif
(affiliative constraints), yang berarti bahwa anggota kelompok lebih memilih
untuk menyimpan masukan atau pendapat mereka daripada mengambil risiko pendapat
mereka ditolak. Menurut Gouran, mereka akan cenderung untuk “memberikan
perhatian lebih pada pemeliharaan kelompok daripada isu-isu yang sedang
dipertimbangkan”. Oleh karena itu, anggota kelompok lebih tertarik mengikuti
pemimpin saat pengambilan keputusan tiba.
3.
Kelompok
dan pengambilan keputusan oleh kelompok sering kali bersifat kompleks.
Usia, sifat
kompetitif, ukuran, kecerdasan, komposisi gender gaya kepemimpinan dan latar
belakang budaya dari para anggota kelompok dapat mempengaruhi proses-proses
yang terjadi di dalam kelompok. Seperti misalnya karna banyak budaya yang tidak
menghargai komunikasi yang terbuka dan ekspresif, beberapa anggota kelompok
akan menarik diri dari perdebatan atau dialog, dan hal ini mungkin dapat
membuat anggota kelompok yang lain heran, serta bisa mempengaruhi persepsi dari
para anggota kelompok, baik yang partisipatif ataupun yang nonpartisipatif.
Oleh karena itu, kelompok dan keputusan kelompok dapat menjadi lebih sulit,
tetapi biasanya melalui kerja kelompok, orang dapat mencapai tujuan mereka
lebih baik dan efisien.
E.
Aspek dalam Framing
1. Memilih fakta/realitas
Proses
memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak mungkin melihat
peristiwa tahap perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua
kemungkinan; apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded).
Bagian mana yang ditekankan dalam realitas, bagian mana dari realitas yang
diberitakan, dan bagian mana yang tidak diberitakan. Penekanan aspek tertentu
itu dilakukan dengan memilih angel tertentu, memilih fakta tertentu, dan
melupakan fakta yang lain, memberitakan aspek tertentu dan melupakan aspek
lainnya. Akibatnya, pemahaman dan konstruksi atas suatu peristiwa bisa jadi berbeda
antara satu media dengan media lain. Media yang menekankan aspek tertentu,
memilih fakta tertentu akan menghasilkan berita yang bisa jadi berbeda kalau
media menekankan aspek atau peristiwa yang lain.
2. Menulis fakta
Proses ini
berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak.
Gagasan itu diungkapkan dengan kata, kalimat dan proposisi apa, dengan bantuan
aksentuasi foto dan gambar apa, dan sebagainya. Bagaimana fakta yang sudah
dipilih tersebut ditekankan dengan pemakaian perangkat tertentu; penempatan
yang mencolok (menempatkan di headline depan, atau bagian belakang),
pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan,
pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang/peristiwa yang diberitakan,
asosiasi terhadap symbol budaya, generalisasi, simplifikasi, dan pemakaian kata
yang mencolok, gambar dan sebagainya.
Elemen
menulis fakta ini berhubungan dengan penonjolan realitas. Pemakaian kata,
kalimat atau foto itu merupakan implikasi dari memilih aspek tertentu dari
realitas. Akibatnya, aspek tertentu yang ditonjolkan menjadi menonjol, lebih
mendapatkan alokasi dan perhatian yang besar dibandingkan aspek lain. Semua
aspek itu dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari konstruksi berita menjadi
bermakna dan diingat oleh khalayak. Realitas yang disajikan secara menonjol dan
mencolok, mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi
khalayak dalam memahami realitas.
Konsep framing dalam studi media
banyak mendapat pengaruh dari lapangan
psikologi dan sosiologi. Tetapi secara umum, teori framing dapat dilihat
dalam dua tradisi yaitu psikologi dan sosiologi. Pendekatan psikologi terutama
melihat bagaimana pengaruh kognisi seseorang dalam membentuk skema tentang
diri, sesuatu atau gagasan tertentu. Teori framing misalnya banyak berhubungan
dengan teori mengenai skema atau kognitif; bagaimana seseorang memahami da
melihat realitas dengan skema tertentu. Misalnya, teori atribusi Heider yang
melihat manusia pada dasarnya tidak dapat mengerti dunia yang sangat kompleks.
Karenanya, individu berusaha menarik kesimpulan dari sejumlah besar informasi
yang dapat ditangkap oleh panca indera sebagai dasar hubungan sebab akibat.
Atribusi tersebut dipengaruhi baik oleh faktor personal maupun pengaruh lingkungan
eksternal. Sementara dari sosiologi, konsep framing dipengaruhi oleh pemikiran
Erving Goffman.
F. Teknik-teknik
Analisis Framing
Objek framing jurnalis hanya
bagian dari kejadian-kejadian penting dalam sebuah berita. Dan bagian tersebut
adalah salah satu aspek yang sangat ingin diketahui khalayak. Aspek lainnya
adalah peristiwa atau ide yang diberitakan. Berikut adalah beberapa teknik
framing dari para ahli:
1.
Entman
a.
Identifikasi
masalah.
b.
Peristiwa
dilihat sebagai apa dan dengan nilai apa, positif atau negatif.
c.
Identifikasi
penyebab masalah.
d.
Siapa
yang dianggap penyebab masalah.
e.
Evaluasi
moral.
f.
Penilaian
atas penyebab masalah.
g.
Penanggulangan
masalah.
h.
Menawarkan
suatu cara penanganan masalah dan kadangkala memprediksi hasilnya.
2.
Abrar
a.
Ketidaksesuaian
sikap dan perilaku (cognitif dissonance)
b.
Empati
atau membentuk “pribadi khayal”
c.
Daya
tarik yang melahirkan ketidakberdayaan (packing).
d.
Menggabungkan
kondisi, kebijakan, dan objek yang sedang aktual dengan fokus berita
(asosiasi).
Ada tiga bagian berita yang
menjadi objek framing:
1)
Judul
berita di-framing dengan teknik empati yaitu menciptakan “pribadi khayal” dalam
diri khalayak, khalayak diangankan menempatkan diri seperti korban, sehingga
mereka ikut merasakan kepedihan.
2)
Fokus
berita di-framing dengan teknik asosiasi, yaitu menggabungkan kebijakan aktual
dengan fokus berita.
3)
Penutup
berita di-framing dengan menggunakan teknik packing, yaitu menjadikan khalayak
tidak berdaya untuk menolak ajakan yang dikandung berita dan sama sekali tidak
membantah kebenaran yang dikonstruksikan berita.
3.
Gamson
a.
Level
Kultural
-
Identifikasi
dan kategorisasi pada proses pengulangan, penempatan, asosiasi, penajaman kata,
kalimat, dan preposisi tertentu dalam wacana.
-
Membedah
sisi retoris wacana yaitu dengan menganalisis dan mengidentifikasi kata, kunci,
metafor, frase, popular wisdom, silogisme, dan perangkat-perangkat simboik yang
ada di dalamnya.
a.
Level
Individu
-
Analisis
framing level individu dilakukan untuk mengukur frame-resonance dan mengetahui
tingkat keseragaman atau keberagaman schemata awak media.
-
Frame-resonance,
yaitu tingkat keselarasan antara frame yang muncul dalam wacana dengan respon
interpretatif khalayak.
-
Schemata
individu bisa dilakukan dengan polling atau wawancara komprehensif.
G. Model-model
Analisis Framing
1.
Model
Murray Edelman
Framing menurut Murray
Edelman, apa yang diketahui tentang realitas atau tentang dunia tergantung
bagaimana membingkai dan mengkonstruksi realitas, realitas yang sama bisa jadi
akan menghasilkan realitas yang berbeda ketika realitas tersebut dibingkai atau
dikonstruksi dengan cara yang berbeda. Gagasan utamanya adalah dapat
mengarahkan pandangan khalayak akan suatu isu dan membentuk pengertian mereka
akan suatu isu.
a.
Kategorisasi
Edelman mensejajarkan framing sebagai kategorisasi:
pemakaian perspektif tertentu dengan pemakaian kata-kata yang tertentu pula
yang menandakan bagaimana fakta atau realitas dipahami. Kategori merupakan alat
bagaimana realitas dipahami dan hadir dalam benak khalayak. Dengan kategori
alternatif, makna berubah, bahkan seringkali terjadi secara radikal.
Kategorisasi merupakan kekuatan besar dalam mempengaruhi kesadaran publik.
Kategorisasi lebih halus dibandingkan dengan propaganda.
Contoh: Membuat khalayak hanya mengingat satu
dimensi menonjol saja dari suatu peristiwa. Misalnya pemberitaan media pada
kasus Sampit 2001. konflik etnis di Sampit merupakan perang etnis, peristiwa
yang diambil, bagian yang digambarkan adalah kekejaman orang Dayak kepada orang
Madura.
1)
Kesalahan
Kategorisasi. Tulisan-tulisan Edelman banyak memusatkan perhatian pada
bagaimana politisi menciptakan bahasa dan simbol politik untuk memengaruhi
opini publik. Politik dalam kacamata Edelman, tidak lain adalah permainan
simbol-simbol. Khalayak diajak berpikir dengan kata dan simbol yang dibuat untuk
memenangkan dukungan publik. Contoh: Pada konflik Sampit, mereka yang
diwawancarai, pertanyaan yang diajukan narasumber juga diarahkan pada konflik
antar suku. Tidak ada wartawan yang melihat kasus ini sebagai kegagalan negara
dalam menjamin keamanan warganya.
2)
Rubrikasi.
Salah satu aspek kategorisasi penting dalam pemberitaan adalah rubrikasi:
bagaimana suatu peristiwa (dan berita) dikategorisasikan dalam rubrik-rubrik
tertentu. Rubrikasi ini menentukan bagaimana peristiwa dan fenomena harus
dijelaskan. Rubrikasi ini bisa jadi miskategorisasi peristiwa yang seharusnya
dikategorisasikan dalam satu kasus, tetapi karena masuk dalam rubrik tertentu,
akhirnya dikategorisasikan dalam dimensi tertentu. Contoh: berita konflik
Sampit yang masuk dalam rubrik kriminalitas, padahal konflik juga mempunya
dampak sosial, ekonomi, dan budaya.
b. Kategorisasi dan Ideologi
Menurut Edelman, kategorisasi berhubungan dengan
ideologi, pemakaian kategorisasi seperti regulasi, pertahanan, pemilu, dan
sebagainya, hendaknya tidak dipahami sebagai tata bahasa semata, tetapi sebagai
masalah ideologi. Elit politik tertentu diuntungkan dengan bingkai dan kategori
tertentu. Edelman yakin, khalayak hidup dalam dunia citra. Bahasa politik yang
dipakai dan dikomunikasikan kepada khalayak lewat media memengaruhi pandangan
khalayak dalam memandang realitas. Kata-kata tertentu memengaruhi bagaimana
realitas atau seseorang dicitrakan dan pada akhirnya membentuk pendapat umum
mengenai suatu peristiwa atau masalah. Contoh: Media banyak yang menggambarkan
warga Madura sebagai pendatang yang tidak ramah serta sering membuat ulah.
Akibatnya, warga Dayak kesal dan melakukan pengusiran secara besar-besaran.
H.
Faktor Terbentuknya
Groupthink
a)
Kohesivitas
Kelompok
Kohesivitas
kelompok mendukung terjadinya groupthink. Di dalam kelompok yang memiliki
kohesivitas yang tinggi akan lebih antusias mengenai tugas-tugas mereka, dan
anggotanya merasa dimampukan untuk melaksanakan tugas-tugas tambahan, karena
kelompok mereka sangat kompak atau kohesif. Walaupun terdapat keuntungannya,
tetapi kelompok yang sangat kohesif juga bisa memberikan tekanan yang besar
pada anggota kelompoknya untuk memenuhi standard kelompok. Dan biasanya anggota
kelompok tidak bersedia untuk mengemukakan keberatan mereka mengenai solusi yang
diambil. Maka Irving Janis berpendapat bahwa kohesivitas menuntun kepada
groupthink.
b)
Faktor
Struktural
Karakteristik
struktural yang spesifik, atau kesalahan, mendorong terjadinya groupthink.
Faktor-faktor ini juga termasuk isolasi kelompok, kurangnya kepemimpinan
imparsial, kurangnya prosedur yang jelas dalam mengambil keputusan, dan
homogenitas latar belakang anggota kelompok.
Isolasi
kelompok (group insulation)
Merujuk
pada keinginan kelompok untuk tidak terpengaruh oleh pihak di luar kelompok.
Padahal ada kemungkinan bahwa pihak di luar kelompok dapat membantu dalam
pengambilan keputusan.
Kurangnya
kepemimpinan imparsial (lack of impartial leadership)
Anggota
kelompok dipimpin oleh orang yang memiliki minat pribadi terhadap hasil akhir.
Pemimpin berpendapat bahwa opini lain akan merugikan rencananya, dan
kepemimpinan alternatif ditekan.
Kurangnya
prosedur pengambilan keputusan (lack of decision making procedures)
Beberapa
kelompok memiliki prosedur untuk mengambil keputusan; kegagalan untuk memiliki
norma yang telah disepakati untuk mengevaluasi suatu masalah dapat menimbulkan
groupthink. Jika ada masalah di suatu kelompok, mereka masih harus mencari
penyebabnya dan sejauh apa masalah teresebut.
Homogenitas
latar belakang (Homogenity of members’ backgrounds)
Tanpa
keragaman latar belakang sosial, pengalaman dan ideology akan mempersulit
sebuah kelompok untuk mendebat masalah yang penting.
c)
Tekanan
Kelompok (Group Stress)
Tekanan
internal dan eksternal (internal and external stress) yang dialami kelompok
dapat menuntun kepada groupthink. Jika suatu kelompok dalam membuat keputusan
sedang mengalami tekanan yang berat – baik disebabkan oleh dorongan-dorongan
dari luar maupun dari dalam kelompok – mereka cenderung tidak dapat menguasai
emosi, sehingga dapat mencari segala cara agar masalah dapat cepat diselesaikan
tanpa memikirkan akal sehat, maka kelompok tersebut sedang menuju groupthink.
I.
Dampak Negative
Groupthink
1.
Diskusi
amat terbatas pada beberapa alternatif keputusan saja.
2.
Pemecahan
masalah yang sejak semula sudah cenderung dipilih, tidak lagi dievaluasi atau
dikaji ulang.
3.
Alternatif
pemecahan masalah yang sejak semula ditolak, tidak pernah dipertimbangkan
kembali.
4.
Tidak
pernah mencari atau meminta pendapat para ahli dalam bidangnya.
5.
Kalau
ada nasehat atau pertimbangan lain, penerimaannya diseleksi karena ada bias
pada pihak anggota.
6.
Cenderung
tidak melihat adanya kemungkinan-kemungkinan dari kelompok lain akan melakukan
aksi penentangan, sehingga tidak siap melakukan antisipasinya.
7.
Sasaran
kebijakan tidak disurvei dengan lengkap dan sempurna.
J.
Mencegah
terjadinya Groupthink
A.
Dibutuhkan
adanya supervisi dan kontrol (membentuk komite parlementer)
o
Mengembangkan
sumber daya untuk memonitor proses pembuatan kebijakan.
o
Memberi
dukungan akan adanya intervensi.
o
Mengaitkan
kepentingan nasib dengan nasib anggota lain.
B.
Mendukung
adanya pelaporan kecurangan (suarakan keraguan)
o
Hindari
menekan kekhawatiran akan keputusan kelompok
o
Terus
tidak sepakat dan mendebat ketika tidak ada jawaban yang memuaskan
o
Pertanyakan
asumsi
C.
Mengizinkan
adanya keberatan (lindungi conscientious objectors)
o
Berikan
jalan keluar bagi para anggota kelompok
o
Jangan
menganggap remeh implikasi moral dari sebuah tindakan
o
Dengarkan
kekhawatiran pribadi anggota akan isu-isu etis di kelompok
o
D.
Menyeimbangkan
consensus dan suara terbanyak (mengubah pilihan pengaturan peraturan)
o
Kurangi
tekanan kepada anggota kelompok yang berada pada posisi minoritas
o
Mencegah
terjadinya subkelompok (peer group)
o
Memperkenalkan
pendekatan yang mendukung banyak pendapat dalam pengambilan
o
Keputusan
Post a Comment
Post a Comment